Cut Dini Syahrani

Saat suara tak lagi didengar, menulislah

  • Home
  • Cerita
  • Fiksi
  • Puisi
  • Publikasi
  • Contact Us
    • Facebook
    • Instagram

Sore itu aku baru saja usai dari kegiatan berjualan suwarni*. Penat, letih semakin menjadi-jadi. Hari itu aku berjanji dengan mamak untuk tidak pulang terlalu sore. Menurut rencana aku akan menemani mamak ke sebuah tempat yang konon terlihat horor oleh penderita sakit gigi. Ya apalagi kalau bukan dokter gigi. 

Mengingat janji tersebut, aku meminta izin untuk pulang lebih awal pada tim suwarni lainnya. Segera aku bergegas pulang ke rumah dengan karisma ku sayang. Walau karisma sedang sakit karena spion sebelah kanannya rusak namun ia tetap karisma ku yang berkarisma. Tanpa banyak keluhan, ia rela aku bawa dengan kecepatan di atas 60km/jam. Aku sangat terburu-buru, khawatir mamak sudah menanti di rumah.

“Zia,,besok kita ikut konvoi yuk!, kan memperingati 1 Muharram,” sapa Sinta, akhwat di kampus ku dengan suara lembutnya. Namun diriku memang sudah sangat ilfeel dengan orang-orang seperti itu. Ada sedikit kebencian yang bersarang dihatiku untuk mereka-mereka yang senantiasa menjaga jelbabnya agar menjulang menutupi hampir setengah badan. Karena perasaan itu pula, semua perbuatan baik mereka tetap buruk di mataku. Aku benci mereka. 

 Minggu, 30 September
21.20


          Perutku mual. Kepalaku sakit, seolah terbentur benda keras. Sekelilingku seperti berputar-putar. Penglihatan mulai samar. Dan aku mengeluarkan bendera putih, tanda menyerah. Aku tak sanggup mancari ide untuk menemukan solusi dari tulisan di kertas putih itu. 

          Siang yang cerah nan terik tadi, aku kedatangan seorang ibu, yang tak lain adalah tetangga dekatku. Beliau membawa secarik kertas putih. Aku mencoba menerka-nerka, perihal apa beliau mencariku bukan ibuku. Pasti ada sesuatu yang serius. Matanya menatapku dengan lemas seraya memohon. Kulihat wajahnya, sepertinya  letih. Apa yang akan dilontarkannya, perasaanku tak enak. Tanpa ragu ia menyerahkan secarik kertas putih yang sedari tadi digenggamnya. 

Jum’at, 15 Juni 2012
20.24 WIB

Beberapa tahun belakangan ini, kucing menjadi hewan peliharaan yang wajib di rumah kami. Tanpa kucing sepertinya rumah ini ada yang kurang. Bahkan sempat kucing kami mencapai 9 ekor dengan usia yang berbeda-beda. Tapi syukurlah, kami tidak kewalahan dengan jumlah tersebut. Bila kata orang, banyak peliharaan makin kurang rezeki, Alhamdulillah kami tidak merasakan hal tersebut. Malah kami cukup enjoy mendapati kenyataan bahwa para kucing di rumah kami makan nasi dengan lauk ikan, sedangkan kami harus puas dengan telur mata sapi. Toh kami sama-sama makan. 

            Namun seiring waktu, jumlah tersebut makin berkurang. Ada yang minggat tiba-tiba, ada yang mati karena sakit hingga mati karena kecelakaan. Semakin banyak kucing yang mati, maka halaman rumah kami semakin dipenuhi dengan kuburan-kuburan mereka. Hingga akhirnya kami hanya memiliki seekor kucing jantan yang kami beri nama si adek. 



Pagi itu aku bersama teman-teman sekelas sedang asyik duduk di pinggir lapangan. Blang Padang, begitulah nama lapangan tersebut. Lapangan yang menjadi incaran murid-murid SD sekitar jika pelajaran olahraga tiba. Tak banyak yang menarik di sana. Namun karena luasnya, beberapa penjaja makanan dan minuman ringan memanfaatkan keramaian di tempat tersebut. Anak-anak SD seperti kami pun dengan senangnya berkeliling memilih jajanan yang enak.

Dari kejauhan aku melihat salah seorang temanku lari menuju ke arah kami. Icut…icut dicari sama BU Nani ”,teriaknya saat berada beberapa meter dariku. Aku terkejut, ada apa Kepala Sekolah mencariku. “Icut, Sela, Uci, Rahmi, kalian dicari sama Bu Nani”, tutur temanku kembali. Bergegas kami langsung balik ke sekolah yang berjarak sekitar 30 meter dari Blang Padang. Panas matahari seolah memberi semangat untuk kami agar berjalan lebih cepat.



Malam itu aku sedang duduk sendiri di dalam ruangan kecil, yang beberapa tahun terakhir ini telah menjelma menjadi dunia keduaku. Itulah istana ku. Istana yang kemegahannya aku bangun seorang diri. Istana yang bagiku sangat luar biasa, walau menurut yang lain ruangan itu tak lebih baik dari sebuah gudang. Itulah gudangku, gudang insprirasiku, kamar tidurku.

Kala itu aku sedang memandang sebuah kabel. Kabel yang seingat aku, ini sudah kedua kalinya aku dibuat sedih olehnya. Kabel charger laptopku yang dalam keadaan putus. Aku bingung harus diapakan. Karna aku tak paham dengan seluk beluk kabel. 


Kucing. Siapa sih yang tidak mengenal hewan ini. Hewan lucu nan imut yang sering menjadi peliharaan rumah tangga. Beberapa penelitian yang dilakukan, menunjukkan 90% keluarga yang memelihara kucing  akan terhindar meninggal akibat serangan jantung. Helen Brown dalam novelnya yang berjudul “Cleo, How a small black cat helped heal a family” juga menceritakan tentang pengalaman serunya ketika memelihara seekor kucing hitam di tengah trauma yang diderita keluarganya. Beliau memaparkan tentang keunikan-keunikan dari struktur tubuh si hewan berbulu indah ini. Menurutnya, membelai kucing adalah suatu pertualangan, perjalanan penemuan di hutan bulu milik si kucing.

Kucing adalah predator yang hebat serta lucu. Mereka memiliki sekitar 30 gigi dalam mulutnya. Mereka sering menangkap mangsanya, lalu mempermainkannya hingga si mangsa tak sadarkan diri bahkan mati. Setelah puas bermain-main, kucing akan menelan sebagian kecil dari tubuh mangsanya tersebut. Namun jangan kira kalau perutnya mampu menerima kiriman dari mulut si kucing. Tunggulah beberapa saat, maka kita akan mendapati kucing memuntahkannya kembali. 

Ku tinggalkan cinta…
Pada bait-bait kehidupan ,
Yang kadang menjelma menjadi surga,
Penggoyah iman pada tatapan mata,

Ku tinggalkan cinta…
Pada mereka yang terkasih,
Dalam kecupan hangat di setiap asa,
Dalam serpihan pelita pmbasuh jiwa,


Ku tinggalkan cinta…
‘tuk menghadap pada Sang Maha Cinta,
Melepaskan segala angkuh berbalut nestapa,
Pada jejak-jejak kaki pecandu dosa,

Ku tinggalkan cinta…
Pada sebuah ukiran nama,
Pengobat rindu bersanding luka,
Bagi insan pewaris cinta...



Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

About Me

Pengagum laut | Pecinta Biru | Berhobi Makan | Bercita-cita Kurus

POPULAR POSTS

  • ALL is Well
  • Saya SYAHRANI bukan SYAHRINI
  • several events each year
  • Mengenali Perasaan Lewat Senyuman

RECENT POST

  • ►  2017 ( 6 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 5 )
    • ►  Desember ( 5 )
  • ►  2014 ( 1 )
    • ►  Maret ( 1 )
  • ►  2013 ( 5 )
    • ►  Desember ( 2 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  Maret ( 1 )
  • ▼  2012 ( 8 )
    • ▼  November ( 2 )
      • Selaksa Wajah Itu
      • 1 Muharram ini HARAM Bagiku
    • ►  Oktober ( 1 )
      • Secarik Kertas Putih itu..
    • ►  Juni ( 1 )
      • Si Adek jadi Bang Toyib
    • ►  Mei ( 1 )
      • Sepatu Mahal Tanpa Bayar
    • ►  April ( 1 )
      • Hingga Detik Ini Aku Masih Berbohong
    • ►  Maret ( 1 )
      • Lovely Cat
    • ►  Januari ( 1 )
      • Ku Tinggalkan Cinta...
  • ►  2011 ( 12 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 2 )
    • ►  Desember ( 2 )

Categories

  • Cerita 28
  • Fiksi 3
  • Publikasi 7
  • Puisi 5
cutdin. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Teman

  • Muarrief Rahmat
  • Bachnar Jr.
  • Narasi Kearifan
  • Aula Andika Fikrullah Albalad
  • Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

FOLLOW US @ INSTAGRAM

Copyright © 2016 Cut Dini Syahrani. Created by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates