Sore
itu
aku
baru
saja
usai
dari
kegiatan
berjualan
suwarni*.
Penat,
letih
semakin
menjadi-jadi.
Hari
itu
aku
berjanji
dengan
mamak
untuk
tidak
pulang
terlalu
sore.
Menurut
rencana
aku
akan
menemani
mamak
ke
sebuah
tempat
yang
konon
terlihat
horor
oleh
penderita
sakit
gigi.
Ya
apalagi
kalau
bukan
dokter
gigi.
Mengingat
janji
tersebut,
aku
meminta
izin
untuk
pulang
lebih
awal
pada
tim
suwarni
lainnya.
Segera
aku
bergegas
pulang
ke
rumah
dengan
karisma
ku
sayang.
Walau
karisma
sedang
sakit
karena
spion
sebelah
kanannya
rusak
namun
ia
tetap
karisma
ku
yang
berkarisma.
Tanpa
banyak
keluhan,
ia
rela
aku
bawa
dengan
kecepatan
di
atas
60km/jam.
Aku
sangat
terburu-buru,
khawatir
mamak
sudah
menanti
di
rumah.
Belakangan
mamak
mengeluhkan
sakit
gigi
bagian
atas.
Sangat
menyedihkan,
ia
hampir
tak
bisa
makan,
bahkan
sempat
suatu
malam
dilanda
demam
yang
kian
meninggi.
Aku
yang
hanya
bisa
terdiam
tak
mampu
berbuat
apapun
merasa
semacam
anak
durhaka.
Aku
yang
selalu
disibukkan
dengan
aktivitas
di
luar,
tak
pernah
mampu
meluangkan
waktu
untuk
orang
tua
dan
keluarga.
Itulah
mengapa,
aku
sering
menebus
kesalahan
dengan
menyempatkan
diri
bila
diminta
untuk
sekedar
mengantar
ke
suatu
tempat
atau
ke
rumah
sakit.
Dan
aku
tak
ingin
melewatkan
setiap
kesempatan
itu.
Bagiku
keluarga
adalah
harta
yang
berharga
yang
Allah
titipkan
untukku.
Di
tengah
perjalanan,
aku
bertemu
dengan
hujan.
Mereka
berbondong-bondong
turun
dari
awan
dan
semakin
lama
semakin
deras.
Namun
tak
jelas
berapa
debitnya,
yang
aku
tahu
saat
itu
hujannya
memang
sangat
lebat.
Anehnya
matahari
masing
gagah
bersinar
di
ujung
sana.
Hujan
lokal
ternyata.
Tak
ingin
membuang-buang
waktu
dengan
berteduh,
aku
memilih
menggunakan
mantel
dan
melanjutkan
perjalanan.
Dalam
keadaan
aspal
yang
licin
akibat
hujan,
nyaliku
ciut
untuk
membawa
karisma
dengan
kecepatan
tinggi.
Trauma
tabrakan
yang
terjadi
berulang-ulang
selama
ini
menjadi
hantu
yang
tiap
kali
membuatku
ngeri.
Namun
disisi
lain,
aku
harus
segera
sampai
di
rumah.
Jika
tidak,
praktik
dokter
akan
tutup,
dan
aku
telah
membiarkan
mamak
terus
dengan
kesakitannya.
Aku
tak
mau
itu.
Semakin
jauh
perjalanan,
semakin
banyak
saja
pikiran
yang
menyerbu.
Hatiku
semakin
tidak
tenang
dan
dipenuhi
perasaan
bersalah.
Badan
mulai
pegal,
dan
debit
hujan
belum
juga
reda.
Penderita
silindris
yang
kesulitan
dengan
jarak
pandang
ketika
hujan
deras.
Dan
benar
saja,
aku
baru
menyadari
sebuah
mobil
sedang
melakukan
rem
mendadak
tepat
di
depanku.
Jaraknya
kira-kira
1,5
m.
Aku
terkejut
dan
sulit
mengontrol
karisma.
Namun
kusempatkan
untuk
menggunakan
kolaborasi
rem
tangan
dan
rem
kaki.
Berharap
karisma
segera
berhenti
dan
tidak
mendekat
ke
mobil
tersebut.
Tapi
jauh
dari
dugaan,
si
karisma
tetap
melaju
tanpa
ampun.
Aku
gugup.
Tak
butuh
waktu
lama,
mungkin
sekitaran
5
detikan,
badanku
terhentak.
Ada
suara
tumbrukan.
Dan
baru
saja
si
karisma
mau
di
ajak
berhenti
dalam
posisi
yang
sangat
tidak
sesuai.
Dalam
hati
aku
mengeluh,”Ya
Allah,,hutangku
masih
juga
belum
lunas,
ditambah
lagi
sekarang
ganti
mobil
orang”.
Aku
berada
dalam
keadaan
benar-benar
pasrah.
Aku
menanti
si
empunya
mobil
turun.
Aku
siap
jika
dimarahi
habis-habisan.
Aku
siap
menjawab
bila
diminta
ganti
rugi.
Karena
ini
bukan
kali
pertama
aku
menabrak
orang.
Pernah
juga
aku
menabrak
mobil
yang
sedang
santai
parkir
di
pinggir
jalan.
Alhasil
Ayah
harus
mengeluarkan
jutaan
untuk
mengganti
rugi.
Jutaan…benar-benar
nominal
yang
berat.
Dan
kali
ini
aku
menabrak
mobil
kembali.
“Jutaan
rupiah
lagi
ini”,
pikirku
dalam
hati.
Aku
masih
diam
dalam
posisi
berhenti,
namun
jauh
dari
dugaan,
mobil
yang
baru
saja
kutabrak
tetap
melaju
pelan
ke
depan.
Saat
itu
sedang
sedikit
macet.
Tapi
aku
tidak
mendapati
tanda-tanda
si
empunya
mobil
akan
turun.
Aku bingung, apa
mungkin si empu tidak terasa dengan guncangan yang dilakukan oleh
karismaku tadi. Ingin rasanya melarikan diri dan pura-pura tidak
pernah terjadi apa-apa. Tapi urung aku lakukan, toh Tuhan masih setia
menatap bukan. Dengan mencurahkan seluruh keberanian, aku jalankan
karisma dan segera memeper ke bagian pintu mobil sebelah kiri. Aku
menatap kaca mobil yang masih tertutup, berusaha menerka-nerka sosok
seperti apa yang ada dalam mobil.
Sejurus
kemudian,
kaca
mobil
di
turunkan.
Jantungku
berdetak
kencang.
Tak
ada
pilihan
lain,
si
empu
sudah
di
depan
mata…hadapi.
Tak
begitu
jelas
seperti
apa
orang
di
dalam
mobil
tersebut.
“Bang
maaf
ya..”,
sapa
ku
dengan
wajah
memelas.
“Kenapa
di tabrak dek”.
“Remnya
blong bang”.
“Oh
yaudah, pergi sana”
Apa…yaudah?.
Aku
tak
salah
mendengar
bukan.
Tak
percaya
tapi
tak
berani
menayakan
kembali.
Khawatir
si
abang
berubah
pikiran.
“Makasih
bang
ya…”,
jawab
ku
sambil
berlalu.
Ya
Allah,
pertolongan-Mu
sangat
dekat.
Sempat
nangis,
tapi
buru-buru
aku
hapus.
Jangan
sampai
pandangan
kabur
akibat
mata
berair
membuatku
menabrak
sesuatu
lagi.
Sekilas
terbayang
wajah
mamak
yang
sedang
tersenyum.
Seperti
percikan
semangat
untuk
hijrah
dari
keletihan.
“Aku
harus
cepat
pulang..”,bisikku
dalam
hati.
Mamak,
wajahmu
berkontribusi
banyak
dalam
semangat-semangat
ini.
Nb
:
Suwarni (Sub Buah Warna-Warni, Usaha yang sedang saya dan bersama
teman-teman HoR geluti )
Tags:
Cerita
1 komentar
bahasa yang indah..
BalasHapus