Secarik Kertas Putih itu..


 Minggu, 30 September
21.20


          Perutku mual. Kepalaku sakit, seolah terbentur benda keras. Sekelilingku seperti berputar-putar. Penglihatan mulai samar. Dan aku mengeluarkan bendera putih, tanda menyerah. Aku tak sanggup mancari ide untuk menemukan solusi dari tulisan di kertas putih itu. 

          Siang yang cerah nan terik tadi, aku kedatangan seorang ibu, yang tak lain adalah tetangga dekatku. Beliau membawa secarik kertas putih. Aku mencoba menerka-nerka, perihal apa beliau mencariku bukan ibuku. Pasti ada sesuatu yang serius. Matanya menatapku dengan lemas seraya memohon. Kulihat wajahnya, sepertinya  letih. Apa yang akan dilontarkannya, perasaanku tak enak. Tanpa ragu ia menyerahkan secarik kertas putih yang sedari tadi digenggamnya. 

                                                                                              
          Aku mulai mengeja satu persatu tulisan di atas kertas tersebut. Hmm dugaanku benar. Aku hanya bisa tersenyum pasrah sambil memikirkan jawaban apa yang harus aku lontarkan.
“Tolong ya un..Ibu udah coba cari, tapi untuk soal yang ini Ibu tidak bisa”, mohonnya.
“Ini soal untuk kelas berapa bu”,tanyaku.
“Kelas 1 un”.
“1 SMP?“
“Bukan, 1 SMA”, jawab Ibu itu kembali.

Kali ini benar-benar di luar dugaan. Tuhan, musibah apa ini. Apa yang harus aku katakan. Apa harus kubilang bahwa aku tak bisa. Bahkan aku tak pernah memilih menjadi tentor les untuk tingkat SMA. Tapi apa gunanya aku ditempa 3 tahun lebih di kampus itu. Namun soal-soal itu terlihat sangat sulit. Untuk sekian kalinya aku menatap satu demi satu tulisan di kertas itu sembari mengantar Ibu itu sampai pintu pagar. 

          Sepulangnya Ibu pengantar kertas putih itu, aku langsung membongkar buku-buku zaman SMA dulu. Buku catatan kelas 1,2 dan 3. Tidak lupa buku les bahkan buku bimbel SPMB dulu. Semuanya masih rapi tersimpan. Rapi..karena memang tak pernah lagi kesentuh. Aku buka lembaran-lembaran yang dipenuhi angka-angka, sejenak aku bingung. Aku tak menyangka pernah belajar mengenai materi-materi seberat itu kala SMA. Dan benar saja, aku tak paham satu pun apa yang aku tulis di buku-buku tersebut. 

          Secarik kertas dengan 3 butir soal kelas 1 SMA sukses mengubahku seolah menjadi anak yang rajin. Tak peduli dengan rasa lapar dan jadwal makan siang, padahal ibuku memasak masakan kesukaan. Aku kalab, berjam-jam berusaha memecahkan 3 butir soal. Berlembar-lembar kertas HVS berserakan. Semuanya penuh dengan coret-coretan. Hingga akhirnya aku mulai muak dan memilih bertanya dengan seorang teman via HP. Syukur, sudah 1 soal terpecahkan. Tapi masih ada 2 soal lagi, dan waktu sudah menunjukkan jam 6 sore. “Sebentar lagi Ibu itu pasti datang untuk mengambil jawabannya”, keluhku dalam hati. Tapi aku sudah terlanjur mual, vertigoku kambuh. Aku tak sanggup.
         
          Benar saja. Tak lama setelah itu, si Ibu datang. Dengan sedikit basa-basi dan meminta maaf, aku serahkan kertas yang berisi solusi dari hanya 1 soal. Si Ibu berterima kasih dan pamit pulang. Ia tersenyum walau aku tahu, ia pasti kecewa. Ia salah memilih tempat, aku hanya mahasiswa dari jurusan matematika yang belum menguasai Ilmu Matematika seluruhya. Ingat ya, Belum dan Insya Allah akan. Amin.

          Secarik kertas putih tadi telah menghantarkan ku pada satu keterkejutan yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Dan aku mulai bertanya-tanya. Kenapa harus “Matematika”. Kenapa itu menjadi pelajaran favoritku dulu sejak SD hingga SMA. Kenapa merasa biasa saja ketika yang lain menggurutu tentang kesulitan Matematika. Kenapa harus berusaha keras untuk bisa masuk ke jurusan Matematika. Dan kenapa sekarang masih bertahan di jurusan tersebut. Sementara jelas-jelas Matematika itu adalah pelajaran yang sulit. Menguras otak hanya untuk menjawab beberapa butir soal ujian. Aku heran sekaligus kagum.

          Mungkin ini yang dinamakan cinta. Cinta itu buta kan. Dan cinta itu mampu membuat segala yang tak mungkin menjadi mungkin. Yang pasti cinta itu adalah usaha, usaha untuk menyempurnakan walau tak ada yang sempurna. Kini aku sadar, aku cinta...Cinta pada Matematika.

         


Share:

0 komentar