Sepatu Mahal Tanpa Bayar



Pagi itu aku bersama teman-teman sekelas sedang asyik duduk di pinggir lapangan. Blang Padang, begitulah nama lapangan tersebut. Lapangan yang menjadi incaran murid-murid SD sekitar jika pelajaran olahraga tiba. Tak banyak yang menarik di sana. Namun karena luasnya, beberapa penjaja makanan dan minuman ringan memanfaatkan keramaian di tempat tersebut. Anak-anak SD seperti kami pun dengan senangnya berkeliling memilih jajanan yang enak.

Dari kejauhan aku melihat salah seorang temanku lari menuju ke arah kami. Icut…icut dicari sama BU Nani ”,teriaknya saat berada beberapa meter dariku. Aku terkejut, ada apa Kepala Sekolah mencariku. “Icut, Sela, Uci, Rahmi, kalian dicari sama Bu Nani”, tutur temanku kembali. Bergegas kami langsung balik ke sekolah yang berjarak sekitar 30 meter dari Blang Padang. Panas matahari seolah memberi semangat untuk kami agar berjalan lebih cepat.



Sesampai di sekolah, aku melihat BU Nani sedang berbincang-bincang dengan seorang laki-laki. Wajahnya masih asing. Aku juga menemukan beberapa anak-anak yang lain sudah berkumpul di aula sekolah. Dengan penuh rasa tanya, aku ikut berdiri di antara anak-anak tersebut. Selesai berbincang-bincang dengan lekaki tadi, akhirnya beliau memberikan penjelasan mengenai alasan kami dikumpulkan di aula. Aku dan anak-anak yang lain akan dimasukkan dalam grup Drumband Gugus I. Dimana Gugus I ini adalah perkumpulan dari SDN 2, SDN 10 dan SDN 11 yang kebetulan 1 komplek. Bukan hanya sekedar membuat grup Drumband, namun kami juga akan dilatih keras demi persiapan pertandingan Drumband se Aceh yang hanya tinggal sebulan lagi. Belum sempat terbayang olehku betapa kerasnya latihan nanti, karena berita ini sungguh sangat mengembirakan bagiku dan teman-teman.

Selesai mengumumkan berita tersebut, Bu Nani mempersilahkan lelaki tadi untuk memperkenalkan diri. “Hai, nama saya Tagor, kalian bisa panggil saya Bang Tagor”, sapanya sambil menatap kearah kami. Beliau adalah pelatih Drumband kami. Selesai memperkenalkan diri, beliau mulai memilah-milah kami menjadi 2 kelompok untuk memegang alat yang berbeda. Tapi saat itu aku merasa seperti tidak diperhatikan. Bayangkan saja teman-temanku satu persatu sudah dipanggil namun aku tidak dimasukkan dalam 2 kelompok tersebut. Bukan hanya itu, lelaki tersebut membubarkan anak-anak setelah ia memberikan sedikit penjelasan mengenai latihan yang akan dimulai esok hari. Beliau melakukan itu tanpa melihat ke arahku sama sekali. Aku kesal.

Setelah teman-teman pergi meninggalkan aula, aku beranikan diri bertanya dengan beliau. Aku berlari kecil menghampirinya yang sedang berjalan ke luar aula. “Bang, kenapa saya tidak dipanggil? Saya belum tahu harus masuk kelompok yang mana? “ Tanyaku sambil memandang beliau. “Salah kamu sendiri, kenapa tidak dari tadi bilangnya, saya tidak tahu harus memasukkan kamu ke kelompok yang mana, setiap kelompok sudah lengkap anggotanya”, jawabnya dengan ketus. Ingin rasanya nangis, tapi segera kutahan. Aku tak ingin terlihat cengeng di depan orang asing seperti dia. Aku hanya diam. Namun aku tak tahu bagaimana wajahku saat itu, mungkin sangat menyedihkan. Karena beberapa detik kemudian, lelaki asing tersebut bicara kembali.
“Besok kamu bawa tongkat yang panjangnya sekitar 125 cm, boleh dari kayu ataupun pipa. Tapi usahakan jangan terlalu kurus ya”
Usai mengatakan itu, beliau pergi meninggalkan aku yang masih kebingungan. Namun aku tersenyum, karena mulai paham dengan perlakuannya tadi. Aku akan dijadikan mayoret. Jabatan yang sangat aku idam-idamkan. Kebahagiaanku bertambah.
***
Sepulang dari sekolah, aku tak sabar ingin menceritakan beberapa hal yang terjadi di sekolah. Ku cari sosok perempuan yang sangat aku cintai itu, Ibu. Dengan tidak melepas seragam terlebih dahulu, aku mulai membanjiri Ibu dengan cerita-cerita. Mulai dari saat aku dicari oleh Bu Nani, hingga saat aku dipilih menjadi mayoret. Ibu tersenyum dan segera menghampiri Ayah. Kulihat mereka membicarakan sesuatu. Setelah itu, Ayah melangkah menuju gudang yang letaknya di depan rumah. Ayah terlihat sangat sibuk, namun Ibu tidak mengizinkan aku membantunya. Ibu menyuruhku untuk ganti pakaian dan makan  siang. Aku hanya menurut.
***
Tak terasa 3 minggu sudah kami dilatih oleh Bang Tagor. Perkembangan teman-temanku pun sangat luar biasa. Mereka sudah bisa menghafal 2 lagu dan membuat formasi yang menarik. Hanya aku yang terkesan lambat. Lahir di tengah keluarga yang menyukai musik tidak serta merta membuat aku mampu membaca ketukan. Alhasil aku selalu salah memberikan aba-aba pergantian lagu kepada teman-teman. Aku tak tahu dimana irama-irama tersebut harus diberhentikan. Setiap lagu harus diulang sebanyak 7 kali, namun pada pengulangan ke 5 atau 6 aku sudah memberikan aba-aba berhenti. Teman-temanku kocar-kacir, dan lagi-lagi aku dimarahi.

Tak mudah bagi anak bungsu sepertiku untuk tetap tegar jika ada yang memarahi. Sering air mata ini berlinang setiap ada bentakan. Tidak terkecuali dengan bentakan Bang Tagor saat latihan. Wajar saja beliau marah, karena kepemimpinan ku sebagai mayoret benar-benar tak bisa diandalkan. Salah memberi aba-aba, maka itu akan berakibat fatal karena akan membuat sekitar 30 kepala kebingungan dan aku pun akan merusak batas waktu yang diberikan saat pertandingan nanti.

Namun bukan Cut Dini namanya jika cepat menyerah. Dengan segala upaya, aku mencoba berkonsentrasi saat latihan. Saat itu aku mulai paham, menjadi mayoret itu bukan hanya mengandalkan kepiawaian memutar-mutar tongkat, namun lebih dari itu. Dibutuhkan juga tanggungjawab. Dan akhirnya aku mampu menghitung pengulangan lagu dengan sempurna hingga latihan-latihan berikutnya.
***
Tibalah saatnya aku mulai mempersiapkan pakaian untuk nampil saat pertandingan. Pihak sekolah belum mampu menyediakannya, karena kami masih sangat baru dalam hal Drumband ini. Untungnya kedua orang tuaku tidak keberatan mempersiapkan sendiri tanpa dukungan dari sekolah. Mulai dengan mencari pinjaman baju hingga sepatu khas mayoret. Namun sayangnya karena ukuran kakiku yang terlalu besar menyebabkan kami kesulitan mencari pinjaman sepatu. Karena lelah, orang tuaku pun mencari alternatif lain. Mereka berencana menempahnya di Medan. Mungkin akan sedikit lebih murah. Dengan bantuan saudaraku, Wak Teti, kami mulai mengorder tempahan sepatu mayoret.

Namun ternyata harga sepatu tempahan itu di luar dugaan kami. Harganya mencapai empat ratus ribu. Berada di tengah-tengah keluarga yang sederhana ini membuatku sedikit paham dengan nominal tersebut yang sangat tinggi bagi kami. Aku pun pasrah dan tidak ingin berharap lebih.

Kulihat Ayah dan Ibu masuk ke kamar setelah mendengar kabar mengenai harga sepatu tersebut. Mungkin mereka ingin membicarakan hal itu. Aku memilih masuk kamar tidurku sendiri. Mencoba membayang-bayangi peristiwa-peritiwa yang akan terjadi saat hari pertandingan tersebut. ”Mungkin nanti akulah satu-satunya mayoret yang tidak memakai sepatu khas mayoret. Penampilanku itu mungkin akan merdampak buruk bagi teman-teman Drumband. Juri pasti akan mengurangi nilai untuk kami”, pikirku saat itu.

Seolah paham dengan kesedihanku, Ibu tiba-tiba memanggilku kembali. Kulihat Ia memegang sehelai kertas dan pinsil. “Uni, coba injak kertas ini, mamak mau gambar tapak kaki uni”, pinta Ibu sambil meletakkan kertas di lantai. Aku menurut dengan kebingungan. Ibuku mulai menggores pinsil di kertas dengan mengikuti lekuk-lekuk tapak kakiku. Usai mengerjakan hal tersebut, Ibu ku tersenyum. “Kaki uni gede kali ya”, canda Ibu sambil tertawa. Mendengar perkataan Ibu tadi aku pun ikut tertawa, walau sebenarnya aku masih sangat bingung.
***
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pertandingan diadakan di lapangan Neusu. Sudah banyak anggota grup Drumband lain yang berkumpul di sana. Kami bersiap dengan gaya masing-masing. Teman-temanku memakai sepatu, celana dan kemeja putih. Dilengkapi dengan rompi merah polos berenda kuning. Mereka terlihat gagah dengan gaya tersebut. Sedangkan aku dan kedua rekan mayoret, Uci dan Rahmi, kami memakai baju mayoret berwarna merah. Untuk model baju Uci dan Rahmi terlihat sedikit mirip. Hanya model bajuku yang berbeda. Baju motif kotak-kotak yang ku pinjam dari teman kakakku itu terlihat pas di badanku. Tidak ketinggalan sepatu mayoretku yang mahal. Sepatu itu sampai ke rumah, 2 hari sebelum pertandingan. Sepatu pacuk putih yang tingginya hingga lutut dengan hak 5 cm tersebut cukup membuatku kewalahan saat berjalan. Aku tak pernah memakai sepatu berhak. Memang sepertinya tidak wajar jika seorang anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar menggunakan sepatu berhak.

Grup Gugus I mendapat nomor penampilan ke-8. Dan kami harus bersiap menyaksikan 7 group lain tampil terlebih dahulu. Waktu terasa sangat lama. Sebelum nomor kami dipanggil, kami sudah mulai baris dengan rapi. Bediri sambil menunggu itu sangat membuatku tidak nyaman. Jantungku berdebar kencang dan tidak teratur. Aku mulai terbayang saat-saat aku dimarahi oleh sang pelatih karena salah menghitung pengulangan lagi. Bagaimana jika itu terjadi lagi saat pertandingan. Aku takut, aku sangat khawatir. Saat itu aku menyesali, mengapa anak kecil seperti kami harus mengahadapi ketakutan seperti ini. Mental kami seperti belum siap.

Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya nomor kami dipanggil. Guru-guruku memberikan semangat. “Ayo semangat, kalian pasti bisa”, teriak Bu Nani. “Cut, jangan lupa senyum ya, apapun yang terjadi pokoknya tetap senyum”, teriak salah seorang calon guru yang tengah PPL di sekolah ku. Aku bersyukur atas semangat-semangat itu. Aku melafaskan Basmallah, dan bertekad tidak akan tampil mengecewakan. Aku mulai menaikkan kedua tanganku. Tangan kiriku mengacungkan jempol pertanda harus memulai intro dan tangan kananku menggoyangkan stick mayoret agar semua teman-temanku fokus dengan aba-aba yang kuberikan.

Selesai intro pertama, aku dan teman-teman mulai memasuki kawasan pertandingan. Kami melangkah menuju meja juri. Dengan jantung yang masih berdebar, serta langkah yang tidak seberapa mulus karena memakai sepatu hak 5 cm, aku mantap memberikan penghormatan mewakili teman-temanku kepada juri.
“Apakah Drumband anda sudah siap?”, tanya seorang juri kepadaku dengan menggunakan pengeras suara.
Aku mulai memutar tongkat ke depan, ke belakang dan ke atas lalu berakhir dengan tongkat di tangan kanan serta tangan kiri tepat di ujung alis dan badan sedikit membungkuk, lalu berteriak “Siap”. Dan diwarnai tepuk tangan meriah oleh penonton. Aku tersenyum, aku bangga sudah membuat juri terkejut.

***
Tiba saatnya pengumuman pemenang. Saat itu aku merasa, sangat beruntung bila kami bisa masuk menjadi juara harapan. Karena tidak mungkin Drumband baru seperti kami bisa masuk menjadi juara 3 besar. MC pun mulai membacakan pemenang dimulai dari harapan 3. Sayangnya tak ada nama Gugus I yang dipanggil menjadi juara harapan. Aku sedih. Bagiku saat itu sudah tak perlu berharap lagi.


Namun kesedihanku sirna ketika aku mendengar Gugus I dibacakan oleh MC. Masih dengan bingung aku melihat teman-teman dan para guru berteriak senang. Ketika itu Rahmi langsung memelukku. Aku tersadar tentang makna kebahagiaan mereka. Kami meraih juara 3.
Setelah MC membacakan pemenang pertama yang diraih SD Percontohan, ternyata masih ada pengumuman selanjutnya. Ada juara mayoret terbaik. Untuk kesekian kalinya aku bingung. Aku belum tahu, kalau ada juara semacam itu. Dan yang lebih mengejutkan, Gugus I kembali dipanggil. Kali ini bukan hanya Rahmi yang memeluk aku dengan riang, namun guru-guru juga ikut. Aku senang namun belum tahu apa yang sedang disenangkan teman-teman dan para guru. Hingga seseorang guru meneriakkan “Cut selamat ya dapat juara 1, Ibu sudah yakin pasti kamu yang menang”. Dan akhirnya aku mengerti tentang makna pelukan bahagia itu. Aku tersenyum sambil memandang sepatu mahalku yang sudah lecek karena terinjak-injak.
***
Sepulang dari pertandingan, Ibu mengingatkanku untuk mengucapkan Alhamdulillah. Ibu juga menyuruhku menelepon Wak Teti yang telah berbaik hati membantuku demi penampilan mayoretku yang nyaris sempurna dengan sepatu mahal itu. “Tak kan indah hari ini tanpamu, sepatu mahal”, ujarku dalam hati. Dan hari itu aku baru mengerti mengapa sepatu itu bisa sampai ke kakiku. Itu semua berkat Wak Teti yang baik hati membiayai pembuatan sepatu mahal sampai ke pengirimannya. Ah, sepatu mahal tanpa bayar ternyata.

Share:

0 komentar