Cut Dini Syahrani

Saat suara tak lagi didengar, menulislah

  • Home
  • Cerita
  • Fiksi
  • Puisi
  • Publikasi
  • Contact Us
    • Facebook
    • Instagram

Pagi ini sangat berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Rasa letih itu seolah berlomba-lomba menghinggapi tubuh. Pusing dengan semua tanggung jawab yang seakan tak pernah akan berujung. Bahkan tanggung jawab orang lain pun harus membebani pikiran. Melakukan hal-hal yang sebenarnya bukan kerjaan kita. Apakah ini? Apa yang salah dengan beban  ini? Inikah pertanda bahwa kita sedang dimanfaatkan? Kesal, ingin marah, ingin menuntut atas ketidakadilan yang diterima selama ini.

Ketika semua terlalu sangat memberatkan, alahkah baiknya kita luangkan sedikit waktu untuk diam, mulailah ber-muhasabah diri. Jika sekarang kita merasa dizhalimi,  terlalu dimanfaatkan oleh orang-orang sekitar, maka berfikirlah sejenak. Barangkali itu adalah karma dari apa yang telah kita lakukan. Mungkin saja kitalah yang selama ini telah memanfaatkan orang-orang yang terlanjur sayang  dengan kita. Yang selalu ada ketika kita butuh, yang mungkin juga terlajur meng-iyakan ketika kita meminta, yang telah mengorbankan sedikit kebahagiaannya demi rewelan kita.
1st
Tanggal 9 Agustus 1991 aku terlahir ke dunia. Alhamdulillah,,aku terlahir sebagai bayi mungil yang memiliki orang tua yang lengkap, seorang kakak dan seorang abang..

2nd
Mulai belajar bicara dan merangkak. Hanya itu,,selebihnya aku tak ingat…:(

3th
Sudah bisa ngomong walau ceplas-ceplos. Seingat saya juga sering dibohongi sama kakak n abang. :(
pixabay.com


Tahun pertama menginjakkan kaki di kampus ini. Tahun pertama??? sepertinya terlalu berlebihan. Saat-saat pertama menjadi mahasiswi baru di kampus ini. Bangunan sederhana yang jauh dari kata mewah dan angkuh. Berlantai satu namun terlihat teduh dengan pohon besar gagah tertancap di bagian depan bangunan. Daun dan rantingnya hampir menutupi ¾ dari halaman kampus ini. Sangat jelas berbeda dengan bangunan di fakultas lain yang masih satu Universitas.

Dengan perasaan gugup menjadi mahasiswi baru, mencoba melangkahkan kaki menusuri kampus kami tercinta ini. Ingin sekali berjalan sambil menunduk namun mata tak kuasa menatap setiap senyuman dari orang-orang yang kebetulan berpapasan. Kakak-kakak dengan kerudung yang lebar, mengenakan rok dan tas samping sambil memegang buku. Ada yang kerudungnya tidak terlalu lebar namun tetap dengan baju yang sopan. Ujung kerudung disematkan ke bahu dengan menggunakan bros berbentuk bunga mawar. Dengan sedikit pelembab bibir yang kadang terlihat sedikit menor namun tetap tersenyum setiap berpapasan dengan sesama. Abang-abang mengenakan kemeja lengan pendek dan celana kain. Ada yang memakai kaos namun berkerah yang dipadukan dengan celana jeans panjang hingga menutup kaki hingga sepatu. Tas ransel tergantung pada kedua bahu. Ada yang tasnya gendut adanya juga yang ramping seperti tak ada isi.

Jum’at, 24 Juni 2011
Hari ini harusnya aku masuk kerja full satu hari. Soalnya ada beberapa hari yang lalu aku ngak masuk karena ada sedikit urusan (sok sibuk gitu…:p). Tepat jam 8.16 aku sampai di tempat kerja dan di sambut oleh kak Lili yang hari itu bertugas sebagai UVO (Unit Front Office). Aku memulai kerja hari ini dengan menempel-nempel potongan kertas di bagian punggung buku. Setelah berjalan beberapa menit, pekerjaan terhenti oleh sapaan Kak Nani, Bos ku di perpustakaan. “Dek, temenin kakak ke kampus ya…kakak ada perlu”. “Iya kak..”

Tak lama kemudian, kami pun menyusuri jalanan menuju Darussalam. Panas yang sedikit menyengat namun masih tampak mendung di ujung gunung sana. Memang sudah beberapa minggu belakangan ini cuaca di aceh aneh. Tak jauh berbeda dengan orang-orang yang tinggal di wilayah ini. Aneh dan terlalu cepat terpancing emosi. Di jalan banyak ku temukan berbagai kendaraan yang bagiku tak secantik VW combi (kesan penggemar VW combi). Namun proyek drainase juga tak kalah menarik perhatian. Debu-debu yang berasal dari hasil galian drainase bergerombolan menyerbu setiap kendaraan yang melintas.

Sekitar 30 menit sudah kami di atas karisma biru kesayanganku. Akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Sebuah rumah yang disewa sementara untuk dijadikan kantor dekanan Kampus IAIN-ARANIRY Fakultas ADAB. Kak Nani adalah Mahasiswi di sini. Pemandangan yang masih sangat2 asing bagiku. Sebuah rumah disulap menjadi kantor dekanan. Aku masuk ke rumah tersebut dengan ragu-ragu. Maklum, masih dikawasan baru. Selama Kak Nani masih mengurusi keperluannya disana, Aku hanya berdiri dengan wajah yang beda-beda tipis dengan orang sangak…hehhehe

Tapi sebenarnya ada sesuatu yang melanda hatiku saat itu. Sesuatu yang sangat menyesakkan, bergulung-gulung mengikat perasaan. Aku rindu. Ya rindu dengan seseorang. Seseorang yang seharusnya menjadi special dalam kehidupanku. Sosok yang kadang mengecewakan namun terlalu sering berbagi kebahagiaan untukku, adik perempuan satu-satunya yang ia miliki.

Dulu saat ia masih single, ia sering mengajakku ke tempat-tempat asing. Makan es krim di café yang beru aja di buka. Kadang pergi ke sekolahnya atau ke kampus saat dia sudah jadi mahasiswi. Aku rindu saat-saat itu. Namun aku bukan ingin menyalahi dia yang sudah married. Tapi aku sangat menyesali kesombonganku yang tidak menikmati saat-saat seperti itu. Kakak,,,,,uni kangen….:(


         Mengunjungi pantai ulee-lheu menjadi rutinitasku beberapa hari ini. Ntah mengapa semenjak kejadian itu, aku ingin sekali menghabiskan hari di pantai ini. Sambil berdiri di pinggir pantai dan memandang jauh ke arah laut. Air laut yang biru seolah menarik perhatianku hingga mataku tak mampu berpaling darinya.

          Hembusan angin pantai menerpa tubuh dengan lembut dan memainkan ujung jelbab biruku. Bau asin semakin menusuk. Semakin sore hawa di pinggir pantai semakin dingin. Namun aku hanya menikmati ini seorang diri. Memang, setelah peristiwa naas yang menelan korban hampir 100 orang itu tlah membuat trauma tersendiri bagi masyarakat Aceh. Mereka enggan ke pantai karena khawatir kalau sewaktu-waktu air yang tenang ini berubah menjadi ganas dan kembali memisahkan mereka dan keluarganya. Beberapa hari yang lalu bumi Aceh kembali geger dengan berita tenggelamnya kapal feri yang ditumpangi hampir 100 orang. Sampai sekarang tim SAR masih melakukan pencarian dengan mengerahkan seluruh anggotanya yang ada di Banda.

        “Welcome to your new life”. Kalimat ini seolah muncul begitu saja saat aku memarkirkan karisma biru di halaman depan bangunan itu. Tempat yang akan menjadi rumah ketiga ku setelah rumah orang tuaku dan kampus. Dengan penuh gugup aku melangkahkan kaki ke dalam bangunan. Kehadiranku disapa oleh 2 orang kakak yang duduk di meja depan. Aku menyimpulkan mereka adalah Front Office. “Kak, yang namanya kak Rani yang mana ya kak?”, dengan senyum yang dibuat-buat aku memberanikan untuk bertanya. “Oh naik aja ke atas dek, beliau ada di atas,” jawab salah seorang kakak tadi. “Oh di atas, maksih banyak ya kak”, jawab ku sambil berjalan menuju tangga.
        Saat kakiku menginjak anak tangga pertama, jantungku berdetak cepat. Aku tak bisa menyembunyikan kegugupanku. Segera kulantunkan Basmallah dalam hati. Berharap Allah memudahkan jalanku. Hari ini aku harus mengikuti interview sebelum benar-benar di terima menjadi pustakawan di tempat ini.

        Tak terasa, aku telah berdiri tepat di depan meja orang yang aku cari, Kak Rani. Saat itu beliau sedang menerima telepon. Ia memberi isyarat untuk duduk dan menunggu sebentar. Sekitar 5 menit aku menunggu, akhirnya kak Rani menyapaku. “Oh ini yang namanya Cut Dini”, sapa kak Rani sambil duduk di belakang mejanya. 

        Dan aku mulai disuguhi beberapa pertanyaan dengan sekali-kali beliau menjelaskan peraturan disini. Aku menjawab seadanya dan cuma angguk-angguk mendengar peraturan yang dijelaskan. Namun interview kali ini sangat berbeda dengan yang biasa aku ikuti. Lebih nyaman dan banyak tertawanya. Dengan jurus humor yang dikeluarkan kak Rani mampu mencairkan suasana. Dan aku sudah merasa sangat dekat dengan beliau. Aku sangat salut dengan orang-orang yang mampu membawa diri seperti beliau. Rasanya nyaman sekali bila dekat dengan beliau.

        Akhirnya sampai ke pertanyaan terakhir. “Icut kenapa mau kerja, apa orang tua tau?”, tanya kak Rani sambil terus memegang handphonenya. Hmm…pertanyaan yang aku sendiri tak tahu apa jawabannya. Aku memang sempat meminta izin dengan Ayah dan Mamak. Namun dengan berat mereka mengizinkan dengan memberiku satu teguran ringan namun sangat bermakna . “Kamu kerja untuk mencari pengalaman, bukan mencari uang, karna masalah uang itu tanggung jawab Ayah”, kalimat inilah yang selalu Ayah lontarkan ketika ku meminta izin untuk mencari kerja. 

        Tak terasa interview berjalan sekitar 45 menit. Ditengah-tengah interview tadi kak Rani harus menerima telepon dari orang yang sangat penting, jadi terhenti beberapa menit. “Besok icut udah bisa mulai kerja, tapi hari ini silahkan liat-liat dulu bukunya”, tutur kak rani mengakhiri paket interview hari ini. “Iya kak makasih banyak, icut liat-liat dulu ya kak”, jawabku sambil meninggalkan kak Rani.
        Beberapa lemari bukunya terkunci, jadi aku hanya bisa memandangi buku-buku itu dari luar lemari. Sengaja dikunci agar tidak ada yang meminjam atau memindah-mindahkan, karena buku-buku di pustaka tersebut harus didata ulang. Namun aku sangat tergiur untuk membacanya satu persatu. Rasanya buku-buku itu mencoba menggodaku dari dalam lemari. “Ayo cut, baca kami, isinya bagus-bagus lho”, seolah godaan buku-buku itu.

        Alhamdulillah. Aku sangat senang bisa menjadi pustakawan di pustaka kecil ini. Aku rasa ini memang pekerjaan yang sangat cocok untukku. Aku sangat tertarik dengan buku. Walau belum jelas aku mau baca atau tidak. Tapi tak masalah, tertarik dengan buku saja itu sudah bagus. Mungkin akan memotivasi untuk tertarik dengan membaca atau bahkan keluarin buku karangan sendiri,,,hehhe (mimpi).

        Akhirnya hari-hariku kini disibukkan dengan potongan-potongan kertas, yang akan ditempel diluar buku-buku itu sebagai kode pustaka. Tidak lupa melabuhkan stempel di lembaran-lembaran yang ditentukan. Benar-benar ilmu perpustakaan yang menarik. Ini semua di ajarkan oleh kak Novi, pustakawan yang bekerja disini juga dan kuliah di jurusan Perpustakaan. Semoga saja aku nyaman dengan lingkungan dan pekerjaan baru ini. Walau aku akui, aku sedikit kelelahan karena harus bolak-balik kampus-pustaka yang jaraknya lumayan. Aku membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai ke sini.Tapi tak masalah. Karna bukan kerja namanya kalau tidak capek. ^_^

Note: nama disamarkan,,,:p


            Cut Dini Syahrani. Begitulah nama panjang saya. Nama yang sengaja diberikan kedua orang tua saya sebagai identitas. Dan nama yang akan dipanggil kelak di akhirat saat saya mempertanggungjawabkan semua perbuatan saya di dunia. Nama buangan pemberian nenek saya dulu.


          Ya. Cut Dini Syahrani adalah nama buangan. Ceritanya dulu, ketika ibu saya mengandung kakak sekitar 26 tahun yang lalu. Saudara dan keluarga termasuk nenek pun melihat ada yang aneh dengan kehamilan itu. Seperti lebih besar. Dan mereka pun menduga bahwa ibusaya sedang mengandung anak perempuan yang kembar. Mereka pun menyiapkan dua buah nama. Yang satu Cut Dara Syahrina dan yang satu lagi Cut Dini Syahrani.

          Tapi ternyata apa yang difikirkan tak sejalan dengan kenyataan. Ibu saya melahirkan seorang bayi perempuan yang memang sedikit berat dan sedikit gendut jika dibandingkan dengan bayi-bayi lain. jadi itulah alasan mengapa perut Ibu saya lebih besar saat kakak masih ada di dalamnya.hehehe

          Nama yang digunakan pun adalah nama pertama. Cut Dara Syahrina. Cut, Teuku dan Syah adalah marga dari aceh. Ayah saya bernama Teuku Edisyah dan Ibu saya bernama Evina Lumungga Lubis. Karena marga itu diturunkan dari Ayah, jadi kami tak ada yang ber-title lubis. Karena marga lubis itu dari Ibu. Ntah siapa yang membuat peraturan seperti itu. Saya pun tak tahu.

          Dan setelah itu, nama Cut Dini Syahrani tak digunakan lagi. 4 tahun kemudian lahir adiknya Cut Dara Syahrina yang di beri nama Teuku Ferdi Ardiansyah. Berhubung yang lahir laki-laki, nama Cut Dini Syahrani pun tak juga digunakan. 

          3 tahun setelah kelahiran si Teuku Ferdi Ardiansyah, lahirlah seorang bayi perempuan yang imut, cantik dan lucu. Karena bingung mau diberi nama apa, di ambil lagi nama Cut Dini Syahrani sebagai identitas si bayi lucu ini. Dan itulah saya.
       
         Walau nama saya berasal dari nama buangan, bukan berarti saya tak menghargai nama ini. Saya sangat senang dan bangga di beri nama Cut Dini Syahrani. Walau nenek,orang yang telah menghadirkan nama ini telah tiada. Dan memang saya sempat berkeinginan memiliki nama pena yaitu Cut Aisyah, namun itu hanya sebatas nama samaran. Bukan untuk menggntikan apalagi menukarnya. Saya tak sesadis itu.


          Tapi sekarang, setelah artis bernama Syahrini itu naik daun, semua teringat-ingat dengan beliau. Bahkan nama saya pun disama-samakan. Ntah apa. Mungkin mereka tidak mau menghargai pemberian orang tua saya yang berupa nama yang indah ini. Saya benci kalau harus disama-samakan dengan beliau. Jika itu hanya sebatas candaan, tak masalah bagi saya. Tapi ini telah menjalar ke berkas-berkas penting saya.

          Sekitar 2 hari yang lalu, seorang senior memberikan selembar kertas kepada saya. Setelah saya lihat, ternyata itu adalah sertifikat. Sekilas memang tampak biasa saja. Tapi setelah saya teliti, ada kesalahan disana. Oh tidak….di situ tertulis Cut Dini Syahrini. Sejak kapan nama saya berubah. Walau hanya satu huruf, tapi itu sangat menjengkelkan. Ini sudah kesekian kalinya saya menerima sertifikat yang bertuliskan nama Cut Dini Syahrini. Jika kesalahan penulisannya ada di tempat yang lain, misalnya Cut Dinie Syahrani, atau Cut Dini Sahrani, saya masih bisa memaklumi. Tapi ini kesalahan ada di Syahrani ditulis Syahrini. Lagi dan lagi SYAHRINI. Saya bukan siapa-siapanya Syahrini. Hanya saudara seiman.

Tapi yang membuat saya tersinggung adalah orang yang melakukan kesalahan pengetikan pun hanya bisa tersenyum dan meminta maaf sekedarnya. Benar-benar memancing emosi. Mengapa popularitas orang lain merugikan saya. Sekali lagi saya tekankan, nama saya CUT DINI SYAHRANI bukan CUT DINI SYAHRINI. Bedakan huruf “A” dan “I”. Dan mohon lebih teliti. SYAHRANI bukan SYAHRINI.
Menjadi kebanggaan orang tua dan keluarga adalah impian semua anak di dunia. Tak terkecuali diriku yang naif  ini. Aku terlahir ke dunia ini sudah sekitar 19 tahun. Dan selama itu pula belum ada satu kebanggaan yang bisa kutorehkan pada hati orang tua dan keluarga. Bahkan sekarang aku merasa menjadi beban mereka.
Berawal dari rasa tak enak ku pada ke dua orang tua menyangkut masalah uang. Ya lagi-lagi uang. Kata orang kita tak bisa hidup tanpa uang. Tapi bukan pernyataan itu yang ingin kubela atau kubantah. Tapi masalah kebutuhanku yang semakin hari semakin meningkat dan membuatku harus sering meminta uang saku pada mereka.
Mungkin masih hal yang wajar jika seorang anak meminta uang saku pada orang tuanya. Apalagi anak sepertiku yang belum memiliki penghasilan. Akan tetapi ini sesuatu yang sudah berbeda. Maksudnya dulu aku sempat tak pernah meminta uang pada mereka. Bukan karena hubungan yang buruk, namun karena aku saat itu sudah mampu memenuhi kebutuhanku sendiri dengan penghasilan yang kudapatkan. Walau hanya sekedar uang jajan dan membeli buku untuk sekolah. 


Berawal saatku bergabung dalam sebuah sanggar kesenian terkemuka di kota ini. Nama sanggar ini sangat terkenal bahkan ke manca Negara. Setiap tahun utusan sanggar ini mempertunjukkan kebudayaan mewakili Aceh di Luar Negeri. Kabar terakhir yang kudengar, tahun lalu mereka berangkat ke Paris.
Sungguh hal yang sangat menyenangkan menjadi salah satu dari mereka. Saat aku diumumkan lulus kedua tes yang diberikan untuk menjadi anggota sanggar itu, dunia seakan tersenyum bersamaku. Berita ini tersebar cepat ke sanak saudara dan rekan-rekan. Siapa yang mengira bahwa anak dari seorang Ayah yang hanya tamat SMA ini bisa menjadi anggota sanggar yang sangat terkenal itu.
Setelah pengumuman kelulusan tersebut, hari-hariku disibukkan dengan kegiatan kesenian. Mulai dari latihan, nampil di berbagai acara besar dan mewah. Dan yang paling membuatku senang adalah, keletihan kami ini semua dihargai. Dihargai dengan materi tentunya. Tiap 2 bulan aku mendapat komisi yang lumayan jumlahnya. Belum lagi jika menjelang lebaran, kami mendapat THR yang dibagi rata pada setiap anggota. Hal aneh yang menyenangkan bagi remaja kelas 1 SMA saat itu.
Karena itulah, aku mulai belajar hidup mandiri. Mengatur uangku sendiri, mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran. Kalau masalah mengatur uang InsyaAllah aku berpotensi ^_^. Tak salah jika wali kelas SMP dulu menunjukku menjadi bendahara kelas. Dan semenjak itu, sangat jarang dan bahkan hampir tak pernah aku meminta diberikan uang jajan di pagi hari saat akan pergi ke sekolah atau bahkan untuk membeli pulsa. Kugunakan penghasilanku tersebut sebaik mungkin. Orang tua dan keluarga ku pun senang melihat perubahanku itu. Secara aku anak paling kecil yang selalu dianggap manja telah berubah menjadi anak yang mandiri, walau hanya dalam masalah keuangan. 


Namun ini hanya berlangsung sekitar 2 tahun. Aku mengundurkan diri dari sanggar itu saat prinsip haidupku mulai berubah dan begitupun dengan penampilanku. Aku menjauh dari kegiatan-kegiatan yang menurutku kurang baik. Memang bukan keputusan yang mudah. Mengundurkan diri berarti menghilangkan kebanggan orang tua dan keluargaku juga.  Namun aku telah mantap untuk mundur walau dengan kekhawatiran yang sangat. Dan aku hanya bisa berserah diri pada Sang Maha Cinta, yang mencintai hamba-Nya dengan cara yang mungkin tidak kita sadari.
Ternyata  yang ku khawatirkan pun terjadi. Ayah adalah orang pertama yang tidak setuju dengan keputusanku untuk keluar dari sana. Mungkin karena aku tidak memberikan alasan yang sebenarnya. Tapi aku fikir saat itu bukan saat yang tepat untuk mengungkapkan bahwa prinsip hidupku tlah berputar haluan. Aku ingin tobat.
Dan cemoohhan dari sanak keluarga dan teman-teman pun datang silih berganti. “Bodoh kali si uni tu, masuk susah-susah kok tiba-tiba keluar”. “Bodoh kali qe cut, ntah apa keluar, ngak sempat ke luar negeri tu”. Dan masih banyak kalimat-kalimat hujatan bodoh itu terlontar. Namun bukan itu yang membuatku sangat sedih. Masalah keuangan. Ya lagi dan lagi uang. Keluar dari sana berarti tak ada lagi penghasilan.
Dan memang sejak saat itu aku mulai sekali-kali meminta uang pada orang tua. Namun kadang ku coba untuk menahan diri walau aku harus menahan rasa lapar di sekolah karena tak ada uang jajan. Bukan karena orang tuaku tak mampu memberiku jajan, tapi karena ku malu. Aku malu jika harus melakukan sesuatu yang telah 2 tahun, tak pernah kukerjakan lagi. Aku malu melihat ayah membuka dompet dan mengeluarkan beberapa lembar rupiah untuk sakuku. Aku malu.

Dan kini umurku telah 19 tahun. Rasanya tak pantas lagi aku bergantung pada mereka. Meminta uang berarti menyusahkan mereka. Dan itu membuatku sangat sakit. Bahkan aku pernah tak henti-henti menangis semalaman karena malu memikirkan keberadaanku di rumah yang hanya menyusahkan mereka. Walau mereka tak pernah sekalipun mengeluh, tapi aku tak tega. Apalagi sekarang Ayah sudah pensiun. Aku tak ingin menjadi beban mereka. Dan aku ingin sekali bekerja. Kerja untuk menghasilkan uang.

Mak,Yah,kak, bang, uni mau kerja…..:(





Dalam naungan cinta kita lahir,
dalam kasih terpendam kita berikhtiar,
membiarkan segala asa berpacu,
pada sandaran melodi hati yang ikhlas…


Lihatlah,,,kala bintang duduk bersama,
pesonakan cinta dalam tangis,
biaskan canda dalam tawa,
indah hari ini,kita yang punya.


Hambar, pahit dan getirnya,
‘tlah kita lalui bersama karena cinta,
anugerah dari Sang Maha Cinta
pada setiap insan yang berusaha.


Rembulan malam ini pun menjadi saksi,
tentang perjalanan yang harus kau ungkapkan,
saat sinar cemerlangnya begitu memukau,
dan debu tak kuasa menahan diri untuk mengusik,
namun…ketegaran itu masih tetap terlukis dalam hati,
dan semua ini karena cinta…




*Surat cinta ini saya persembahkan untuk seluruh PANITIA PIL MIPA XV, yang hanya mampu saya rangkai dalam sebuah puisi sederhana ini,
Permohonan maaf saya tuturkan, jika ada yang kurang berkenan…
Ini hanyalah ungkapan hati seorang pengemis cinta Ilahi…

Ketika cinta berbicara,
bangunkan timbunan gelap yang usang
cairkan pesona jiwa berbalut senja
sapaan liar mulai menyapa,,

ketika cinta berbicara,,
noda demi noda menghanyuti,,
menepis segala asa pilu,,
mengabarkan kedukaan yang masih terselubung.












Cut Aisyah, 17 Oktober 2010



Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

About Me

Pengagum laut | Pecinta Biru | Berhobi Makan | Bercita-cita Kurus

POPULAR POSTS

  • ALL is Well
  • Saya SYAHRANI bukan SYAHRINI
  • several events each year
  • Mengenali Perasaan Lewat Senyuman

RECENT POST

  • ►  2017 ( 6 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 5 )
    • ►  Desember ( 5 )
  • ►  2014 ( 1 )
    • ►  Maret ( 1 )
  • ►  2013 ( 5 )
    • ►  Desember ( 2 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  Maret ( 1 )
  • ►  2012 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ▼  2011 ( 12 )
    • ▼  Desember ( 1 )
      • Karma Dimanfaatkan.
    • ►  Agustus ( 1 )
      • several events each year
    • ►  Juni ( 2 )
      • Kejanggalan yang Mengusik Kampusku
      • Kak, Uni rindu
    • ►  Mei ( 1 )
      • Tentang Saya
    • ►  April ( 2 )
      • Aku Mau Menjadi Pendampingmu
      • Harapan Yang Terjawab
    • ►  Maret ( 2 )
      • Saya SYAHRANI bukan SYAHRINI
      • Masa Lalu Dalam Uang
    • ►  Februari ( 2 )
      • Karena Cinta
      • Dosa Yang Terucap
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 2 )
    • ►  Desember ( 2 )

Categories

  • Cerita 28
  • Fiksi 3
  • Publikasi 7
  • Puisi 5
cutdin. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Teman

  • Muarrief Rahmat
  • Bachnar Jr.
  • Narasi Kearifan
  • Aula Andika Fikrullah Albalad
  • Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

FOLLOW US @ INSTAGRAM

Copyright © 2016 Cut Dini Syahrani. Created by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates