Kejanggalan yang Mengusik Kampusku

Tahun pertama menginjakkan kaki di kampus ini. Tahun pertama??? sepertinya terlalu berlebihan. Saat-saat pertama menjadi mahasiswi baru di kampus ini. Bangunan sederhana yang jauh dari kata mewah dan angkuh. Berlantai satu namun terlihat teduh dengan pohon besar gagah tertancap di bagian depan bangunan. Daun dan rantingnya hampir menutupi ¾ dari halaman kampus ini. Sangat jelas berbeda dengan bangunan di fakultas lain yang masih satu Universitas.

Dengan perasaan gugup menjadi mahasiswi baru, mencoba melangkahkan kaki menusuri kampus kami tercinta ini. Ingin sekali berjalan sambil menunduk namun mata tak kuasa menatap setiap senyuman dari orang-orang yang kebetulan berpapasan. Kakak-kakak dengan kerudung yang lebar, mengenakan rok dan tas samping sambil memegang buku. Ada yang kerudungnya tidak terlalu lebar namun tetap dengan baju yang sopan. Ujung kerudung disematkan ke bahu dengan menggunakan bros berbentuk bunga mawar. Dengan sedikit pelembab bibir yang kadang terlihat sedikit menor namun tetap tersenyum setiap berpapasan dengan sesama. Abang-abang mengenakan kemeja lengan pendek dan celana kain. Ada yang memakai kaos namun berkerah yang dipadukan dengan celana jeans panjang hingga menutup kaki hingga sepatu. Tas ransel tergantung pada kedua bahu. Ada yang tasnya gendut adanya juga yang ramping seperti tak ada isi.



Pemandangan indah dan menabjubkan bagi perempuan yang tinggal di perkampungan. Jarang mengenal hidup bertetangga dan teman bermain atau sekedar teman janjian tarawehan bareng ke mesjid. Bukan karena letak rumah yang berjauhan, namun karena kenaifan pemilik rumah masing-masing yang kurang tersentuh ilmu sosialisasi.
Kampus yang telah membuat jatuh cinta dan sedikit rindu ketika libur. Walau sebenarnya ini bukan kali pertama menginjakkan kaki di kampus ini. Dulu saat masih SMP, sempat berkunjung kesini bersama teman-teman yang dipilih oleh guru. Tapi itu sudah lama sekali. Walaupun telah berlalu sekitar 4 tahunan, bangunan ini tidak banyak perubahan. Masih tetap sederhana dan teduh. Kampus yang telah mengenalkanku pada teman-teman terbaik,HoR.


Kampus yang merelakanku bertatap muka dengan dosen-dosen lulusan Universitas terkemuka di Indonesia bahkan di luar negeri. Bahkan membiarkan aku memiliki dosen wali yang luar biasa sepeti Pak Saiful Mahdi. Kampus yang telah mempersilahkan aku duduk bersama dan mengenal senior-senior ramah dan berkompeten bahkan dari jurusan yang berbeda.

Kampus yang mengajakku untuk tidak takut bermimpi belajar di luar negeri dan jauh dari pepatah “Bagai punduk merindukan bulan”. Kampus yang mengancamku bahwa usaha diiringi do’a adalah harga mati untuk sukses.

Kampus yang telah mengajarkan aku bagaimana sulitnya meraih nilai C. Bukan hanya duduk tersenyum di dalam kelas dan menyimpan catatan hingga esok hari. Bukan dengan mengikuti seminar yang diadakan oleh seorang dosen seharga Rp 300.000 hingga nilai B sudah tergenggam. Bukan dengan bertandang ke rumah dosen sebelum terselenggarakan final sambil membawa buah-buahan dan makanan kesukaan sang dosen. Atau dengan merelakan masa depan terengut dengan menjadi “Ayam Kampus”.

Kampus yang mengizinkan aku menyentuh dunia organisasi, padahal sudah diwanti-wanti oleh Ibu, abang, kakak, sepupu, dan tante untuk tidak pernah mendekati dunia ini. Mereka sangat mengkhawatirkan mental si perempuan kampung yang masih labil. Tapi tetap saja dengan satu keinginan aku sudah mendekati dan menyentuh dunia organisasi ini. Bahkan bukan hanya sekedar menyentuh namun mengambil bagian dari dunia tersebut. Ya,,,dunia PEMAF. Inilah kampusku. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala. Dan aku adalah salah satu Mahasiswi Jurusan Matematika angkatan 2009.



Namun ketika aku menjadi mahasiswi semester pertama, ada sedikit kebingungan pada pemandangan di kampus ini. Kejanggalan yang kutemui setiap kali aku berada di kampus. Kejanggalan yang sangat membuatku kecewa. Sangat terpukul ketika dihantui oleh dosa saat aku tak mampu berbuat apa-apa ketika kejanggalan itu berada di hadapan.

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, bila ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan kalau tidak mampu maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”

Imanku lemah?? Ntah lah. Kenyataannya memang aku tak pernah melakukan apa-apa melihat kejanggalan itu. Aku hanya diam dan berlalu. Kemana kakak berkerudung lebar itu? Kemana abang-abang yang selalu menundukkan pandangan ketika berhadapan dengan perempuan. Apa mereka tidak melihat kejanggalan itu? Atau pura-pura tak melihat juga seperti diriku. Hei…Kenapa aku menyalahkan orang lain? Bukankah aku yang bertanggung jawab atas apa yang aku lihat dan aku tahu. Ntah lah. Aku bingung, aku kecewa. Kecewa dengan pelaku kejanggalan dan kecewa pada diri sendiri yang masih diam di tengah kejanggalan. Jika ku tanyakan pada mereka yang tidak sependapat denganku, mereka akan menjawab “itukan urusan mereka, jangan sok mencampuri urusan orang lain, urusi diri sendiri ajalah, kau tak paham betapa indahnya dunia dengan hadirnya kejanggalan itu”.

Apa? Indah? Ya..dunia memang sangat terlihat indah oleh musuhmu. Tahukah kau siapa musuhmu yang nyata, syaitan. Syaitan itu adalah musuh manusia yang nyata. Lantas berani sekali ia mengatakan keindahan, padahal itu adalah tipu daya syaitan. Namun untuk kesekian kalinya semua kata-kata ini hanya bisa kubisikkan dalam hati, tanpa ada yang mendengar.

Tahun-tahun pertama aku hanya mendapati satu dua kejanggalan. Namun lama-kelamaan kejanggalan itu mulai menyebar. Aku bahkan bisa menemukan di beberapa sudut pandanganku. Dan kini hampir memasuki tahun ketiga aku disini, wabah kejanggalan semakin merambah. Bahkan mengenai orang-orang yang aku sayangi. Sedih…pasti. Siapa yang harus aku salahkan? Kampusku yang masih sederhana ini? Apa salahnya? Bukankah jika “Ia” memiliki mulut untuk berbicara juga akan menolak kejanggalan ini. Lantas siapa, Orang yang melakukan kejanggalan? Bukankah mereka sosok luar biasa di kampus ini? Bukankah mereka terlalu baik untuk disalahkan? Bukankah mereka belum mengerti dengan bahaya kejanggalan ini. Mungkin jika mereka sudah paham, mereka juga tak kan melakukannya. Lalu bukankah orang-orang yang sudah paham seharusnya berbagi pada yang belum paham. Sehingga si paham mau mengisi hati dan pikiran si pelaku kejanggalan. Namun pernahkah terjadi berbagi paham itu? Atau semua si paham ingin menjadi pemilik hati yang imannya lemah.
“kalau tidak mampu maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”

Jika seperti ini siapakah yang harus disalahkan? Syaitan? Bukankah pekerjaannya memang merayu untuk melakukan kejanggalan. Lalu tak ada yang bersalahkah? Kini aku sekali lagi hanya bisa menjawab “ntah lah”. Semoga Tuhan Yang Maha Kasih dan Penyayang mengizinkan kita menikmati hidup tanpa mengenal atau bahkan melakukan kejanggalan. Hingga kelak kita semua mampu membawa bergunung-gunung bekal dan kita pesembahkan hanya untuk-Nya dengan penuh cinta. Hanya untuk Allah.

Share:

0 komentar