Masa Lalu Dalam Uang

Menjadi kebanggaan orang tua dan keluarga adalah impian semua anak di dunia. Tak terkecuali diriku yang naif  ini. Aku terlahir ke dunia ini sudah sekitar 19 tahun. Dan selama itu pula belum ada satu kebanggaan yang bisa kutorehkan pada hati orang tua dan keluarga. Bahkan sekarang aku merasa menjadi beban mereka.
Berawal dari rasa tak enak ku pada ke dua orang tua menyangkut masalah uang. Ya lagi-lagi uang. Kata orang kita tak bisa hidup tanpa uang. Tapi bukan pernyataan itu yang ingin kubela atau kubantah. Tapi masalah kebutuhanku yang semakin hari semakin meningkat dan membuatku harus sering meminta uang saku pada mereka.
Mungkin masih hal yang wajar jika seorang anak meminta uang saku pada orang tuanya. Apalagi anak sepertiku yang belum memiliki penghasilan. Akan tetapi ini sesuatu yang sudah berbeda. Maksudnya dulu aku sempat tak pernah meminta uang pada mereka. Bukan karena hubungan yang buruk, namun karena aku saat itu sudah mampu memenuhi kebutuhanku sendiri dengan penghasilan yang kudapatkan. Walau hanya sekedar uang jajan dan membeli buku untuk sekolah. 


Berawal saatku bergabung dalam sebuah sanggar kesenian terkemuka di kota ini. Nama sanggar ini sangat terkenal bahkan ke manca Negara. Setiap tahun utusan sanggar ini mempertunjukkan kebudayaan mewakili Aceh di Luar Negeri. Kabar terakhir yang kudengar, tahun lalu mereka berangkat ke Paris.
Sungguh hal yang sangat menyenangkan menjadi salah satu dari mereka. Saat aku diumumkan lulus kedua tes yang diberikan untuk menjadi anggota sanggar itu, dunia seakan tersenyum bersamaku. Berita ini tersebar cepat ke sanak saudara dan rekan-rekan. Siapa yang mengira bahwa anak dari seorang Ayah yang hanya tamat SMA ini bisa menjadi anggota sanggar yang sangat terkenal itu.
Setelah pengumuman kelulusan tersebut, hari-hariku disibukkan dengan kegiatan kesenian. Mulai dari latihan, nampil di berbagai acara besar dan mewah. Dan yang paling membuatku senang adalah, keletihan kami ini semua dihargai. Dihargai dengan materi tentunya. Tiap 2 bulan aku mendapat komisi yang lumayan jumlahnya. Belum lagi jika menjelang lebaran, kami mendapat THR yang dibagi rata pada setiap anggota. Hal aneh yang menyenangkan bagi remaja kelas 1 SMA saat itu.
Karena itulah, aku mulai belajar hidup mandiri. Mengatur uangku sendiri, mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran. Kalau masalah mengatur uang InsyaAllah aku berpotensi ^_^. Tak salah jika wali kelas SMP dulu menunjukku menjadi bendahara kelas. Dan semenjak itu, sangat jarang dan bahkan hampir tak pernah aku meminta diberikan uang jajan di pagi hari saat akan pergi ke sekolah atau bahkan untuk membeli pulsa. Kugunakan penghasilanku tersebut sebaik mungkin. Orang tua dan keluarga ku pun senang melihat perubahanku itu. Secara aku anak paling kecil yang selalu dianggap manja telah berubah menjadi anak yang mandiri, walau hanya dalam masalah keuangan. 


Namun ini hanya berlangsung sekitar 2 tahun. Aku mengundurkan diri dari sanggar itu saat prinsip haidupku mulai berubah dan begitupun dengan penampilanku. Aku menjauh dari kegiatan-kegiatan yang menurutku kurang baik. Memang bukan keputusan yang mudah. Mengundurkan diri berarti menghilangkan kebanggan orang tua dan keluargaku juga.  Namun aku telah mantap untuk mundur walau dengan kekhawatiran yang sangat. Dan aku hanya bisa berserah diri pada Sang Maha Cinta, yang mencintai hamba-Nya dengan cara yang mungkin tidak kita sadari.
Ternyata  yang ku khawatirkan pun terjadi. Ayah adalah orang pertama yang tidak setuju dengan keputusanku untuk keluar dari sana. Mungkin karena aku tidak memberikan alasan yang sebenarnya. Tapi aku fikir saat itu bukan saat yang tepat untuk mengungkapkan bahwa prinsip hidupku tlah berputar haluan. Aku ingin tobat.
Dan cemoohhan dari sanak keluarga dan teman-teman pun datang silih berganti. “Bodoh kali si uni tu, masuk susah-susah kok tiba-tiba keluar”. “Bodoh kali qe cut, ntah apa keluar, ngak sempat ke luar negeri tu”. Dan masih banyak kalimat-kalimat hujatan bodoh itu terlontar. Namun bukan itu yang membuatku sangat sedih. Masalah keuangan. Ya lagi dan lagi uang. Keluar dari sana berarti tak ada lagi penghasilan.
Dan memang sejak saat itu aku mulai sekali-kali meminta uang pada orang tua. Namun kadang ku coba untuk menahan diri walau aku harus menahan rasa lapar di sekolah karena tak ada uang jajan. Bukan karena orang tuaku tak mampu memberiku jajan, tapi karena ku malu. Aku malu jika harus melakukan sesuatu yang telah 2 tahun, tak pernah kukerjakan lagi. Aku malu melihat ayah membuka dompet dan mengeluarkan beberapa lembar rupiah untuk sakuku. Aku malu.

Dan kini umurku telah 19 tahun. Rasanya tak pantas lagi aku bergantung pada mereka. Meminta uang berarti menyusahkan mereka. Dan itu membuatku sangat sakit. Bahkan aku pernah tak henti-henti menangis semalaman karena malu memikirkan keberadaanku di rumah yang hanya menyusahkan mereka. Walau mereka tak pernah sekalipun mengeluh, tapi aku tak tega. Apalagi sekarang Ayah sudah pensiun. Aku tak ingin menjadi beban mereka. Dan aku ingin sekali bekerja. Kerja untuk menghasilkan uang.

Mak,Yah,kak, bang, uni mau kerja…..:(




Share:

2 komentar