Aku Mau Menjadi Pendampingmu


         Mengunjungi pantai ulee-lheu menjadi rutinitasku beberapa hari ini. Ntah mengapa semenjak kejadian itu, aku ingin sekali menghabiskan hari di pantai ini. Sambil berdiri di pinggir pantai dan memandang jauh ke arah laut. Air laut yang biru seolah menarik perhatianku hingga mataku tak mampu berpaling darinya.

          Hembusan angin pantai menerpa tubuh dengan lembut dan memainkan ujung jelbab biruku. Bau asin semakin menusuk. Semakin sore hawa di pinggir pantai semakin dingin. Namun aku hanya menikmati ini seorang diri. Memang, setelah peristiwa naas yang menelan korban hampir 100 orang itu tlah membuat trauma tersendiri bagi masyarakat Aceh. Mereka enggan ke pantai karena khawatir kalau sewaktu-waktu air yang tenang ini berubah menjadi ganas dan kembali memisahkan mereka dan keluarganya. Beberapa hari yang lalu bumi Aceh kembali geger dengan berita tenggelamnya kapal feri yang ditumpangi hampir 100 orang. Sampai sekarang tim SAR masih melakukan pencarian dengan mengerahkan seluruh anggotanya yang ada di Banda.


          Beberapa surat kabar bahkan memasang list nama-nama penumpang yang jenazahnya belum ditemukan. Diperkirakan semua penumpang dan awak kapal tersebut tidak selamat. Dari sekitar 100 nama yang dipajang, mataku menangkap sebuah nama yang sangat kukenal. Nama seorang laki-laki yang selama ini mengisi hatiku. Nama itu sangat mencolok, seolah-olah hanya nama laki-laki itu saja yang tulisannya diperbesar dan di-bold.

          Beberapa hari yang lalu pemilik nama itu sempat mengirimkan sebuah pesan singkat yang mengabarkan kalau dia akan pergi sebentar. Ia dan beberapa rekannya akan meninggalkan Banda Aceh menuju Pulau Sabang. Di sana mereka berencana akan mengambil data untuk persiapan skripsi. Aku hanya membalas pesan itu dengan mengiatkan ia untuk berhati-hati. Nasehat yang biasa ku ucapkan kepada siapa saja yang akan berpergian.

          Namun list nama itu tlah mampu membuat luka di hatiku. Dadaku sesak, aku seolah sulit sekali mengatur nafas. Air matapun jatuh tak tertahan. Badanku gemetar. dan aku pun segera berlari ke kamar. Aku bersembunyi di bawah bantal. Ku penjamkan mata dan berharap ini hanyalah mimpi. Aku yakin ia masih gagah di atas kapal itu sambil bersenda gurau dengan rekan-rekannya. Dan ia akan selamat sampai ke pulau itu dan segera pulang menuju Banda. Kuraih handphone dan segera membuka pesan masuk. Kucari pesan yang ia kirimkan beberapa hari itu. Aku pun terisak, membayangkan itulah pesan terakhir yang ia kirimkan.
          Namun harapanku kian tinggi. Aku yakin nama di list itu bukan nama dia. Dan ia tidak berangkat dengan kapal yang tenggelam itu. Jempolku mulai menekan satu persatu angka dan kuakhiri dengan menekan tombol YES lalu segera menempelkan handphone di telinga. Namun suara yang kudengar kembali menggelapkan jiwaku. Kepalaku berat dan aku mulai sulit bernafas. Aku pun terjatuh di lantai sambil menggenggam handphone.

***
Sore ini tepat 8 hari peristiwa itu. Dengan penuh kesabaran dan harapan, aku masih tetap setia mengunjungi pantai ini. Bukan karena ingin menikmati keindahannya, namun aku masih menanti keajaiban itu hadir. Aku masih berharap ia datang dari tengah laut sambil membawa sebuah hadiah untukku. Ia datang dengan menggenggam sesuatu di tangan kanannya. Sebuah cincin emas yang akan ia sematkan di jari manisku. Sambil tersenyum ia menanyakan apakah aku mau menjadi pendampingnya. Dengan senyum malu aku pun mantap menjawab, “ya, aku mau menjadi pendampingmu. Aku mau menjadi teman hidupmu di kala senang dan duka. Kan kita penuhi setengah agama kita”.
          “Hai,,jak woe keudeh, peu magrib-magrib manteng di bineh laot”, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki. Teguran bapak tadi membuyarkan lamunanku. Aku pun berbalik arah ke suara tadi. Mataku menangkap sosok laki-laki yang tadi menegurku. Ia berdiri sekitar 5 meter dariku. Aku pun membalas tegurannya dengan tersenyum. Dan aku kembali menatap laut. Benar, aku harus pulang. Ku pandang matahari yang mulai malu-malu dan bersembunyi dibalik gunung. Cahayanya yang kemerahan tlah membuat awan yang tadinya putih bersih menjadi kekuningan. Inilah pertanda alam bahwa senja kan pergi dan malam kan segera beranjak menyelimuti bumi Aceh. Magrib pun menyusup diantara kedua pesona itu.



          Ku langkahkan kaki menuju mio biru yang selama ini setia menemaniku menanti sebuah keajaiban. Aku melangkah dengan berat. Tak terasa hawa panas kembali menghampiri mataku. Titik-titik bening pun tak kuasa untuk ku tahan. Mataku yang selama 8 hari ini tak terpejam kembali basah. Langkahku terhenti, kucoba membalikkan badan ke arah laut. Kulemparkan pandanganku kehamparan laut yang nan luas itu. Kuharap dapat melihat sosok yang tiba-tiba muncul dari tengah laut. Tapi tak ada satu pertanda pun yang mampu mengabarkan bahwa ia kan menuju kesini. Ia tak kembali dan mungkin tak kan pernah kembali.





"fiksi"

Tags:

Share:

0 komentar