Edukasi Berawal dari Ibu sendiri
Apa
yang terlintas di pikiran anda ketika mendengar kata ‘guru’? pengajar,
pendidik, pengabdian, pintar, kasih sayang, killer, tegas. Yap, menjadi guru
adalah tentang tanggungjawab. Guru merupakan profesi mulia, pantas sangat
dicita-citakan tak terkecuali saya. Sayangnya takdir tak berpihak kepada saya
untuk dapat menuntut ilmu di jurusan keguruan.
Namun,
takdir mengantarkan saya untuk tetap bisa mengajar sambil belajar bersama
anak-anak. Sekitar akhir tahun 2013, saya diterima menjadi tentor bidang Sains
dan Matematika di salah satu Bimbingan Belajar (Bimbel) Islami di seputaran
Banda Aceh.
Menjadi
tentor jelas tak mudah. Walau materi yang dipersiapkan untuk murid tingkat
Sekolah Dasar sekalipun, kita tetap butuh banyak persiapan. Terutama persiapan
mental. Boleh saja materi sudah kita kuasai dengan baik, namun kita dituntut
menguasai kelas, mempersiapkan mental untuk menghadapi anak-anak dengan
karakter serta latar belakang yang berbeda.
Diberikan
kesempatan menjadi tentor, membuat saya mendapatkan banyak sekali pengalaman
berharga. Saya belajar bagaimana latarbelakang keluarga, sedikit banyak
mempengaruhi prilaku si anak. Pola asuh orangtua menentukan sikap dan tingkah
laku mereka.
Bicara
tentang hubungan orangtua dengan anak, saya pernah mengalami satu peristiwa
yang cukup membekas. Saat itu, saya yang masih terbilang baru menjadi tentor di
bimbel tersebut. Karena tertarik sekali dengan konsep bimbel ini, saya pdkt
sama admin bimbelnya. Setiap jam belajar usai, saya selalu menyempatkan diri
untuk berbincang dengan sang admin kece, Ayi namanya.
Selain
mengurus segala kebutuhan administrasi bimbel, Ayi juga bertugas menunggu
anak-anak hingga dijemput oleh orangtua mereka. Saat tersebutlah yang saya
gunakan untuk berbincang dengan Ayi.
Hari
itu, lupa tepatnya tanggal berapa dan hari apa, salah seorang anak perempuan
kelas 4 SD masih menunggu dijemput oleh orangtuanya. Si anak duduk manis di
depan bimbel. Sudah hampir 40 menit berlalu, orangtua si anak belum juga
muncul. Saya dan Ayi yang menunggu si anak tak punya pilihan lain, selain harus
melaksanakan shalat magrib di bimbel. Namun, usai shalat magrib, si anak belum
juga di jemput. Padahal jam belajar sudah usai dari jam 18.00 sore, Oh ya, anak
ini sebenarnya memang sering telat dijemput. Tapi hari itu, sudah terlalu telat
hingga langit sudah gelap, orangtua si anak tak juga menjemput.
Tanpa
pikir panjang, Ayi meminjamkan Hp nya kepada si anak untuk menelepon
orangtuanya. Si anak mulai menekan satu persatu tombol nomer di Hp dan
meng-klik icon ‘losepeaker’, sehingga kami dapat mendengar suara di seberang
telepon. Ketika telepon diangkat, si anak dengan sedikit memelas memanggil
ibunya tercinta.”Ma, jemput adek di Bimbel”. “Ya Ampun dek, Mama lupa”, suara
balasan diseberang telepon. Mendengar kalimat tersebut aku dan Ayi hanya bisa
saling bertatapan, tak mampu lagi berkata apa-apa. Dalam hati, saya
ber-Istighfar. Ingin rasanya nangis, tapi gengsi sama si anak.
Masih
belum paham, bagaimana bisa seorang ibu tidak menjemput anaknya di Bimbel
dengan alasan lupa. Sesibuk apa sih ibu itu sehingga ia tak bisa mengingat
bahwa si buah hatinya belum juga sampai di rumah dengan selamat disaat langit
sudah gelap. Bagaimana jika si anak dijemput orang tak dikenal? Lalu diusilin
orang jahat.
Hal tersebut mengajarkan saya, jika suatu saat nanti diberi kesempatan menjadi seorang ibu, saya tak akan melakukan apa yang ibu itu lakukan kepada anaknya. Sesibuk apapun, anak dan keluarga tetaplah yang utama. Anak adalah amanah, dan keluarga adalah media kita untuk mendapatkan tiket ke surga, Insya Allah.
Tags:
Cerita
0 komentar