Berburu Sejarah di Gampong Pande
Gampong
Pande, kawasan yang menjadi titik nol Banda Aceh ini merupakan sebuah
perkampungan di kecamatan Kutaraja, Banda Aceh yang menyimpan sejarah Kerajaan
Aceh. Beberapa peninggalan sejarah yang masih terawat hingga kini sangat
menarik untuk ditelaah. Salah satu peninggalan tersebut adalah tiga komplek
pemakaman kuno yang terletak di tengah-tengah kampung dan telah dijadikan
lokasi wisata sejarah. Kampung ini sering dikunjungi wisatawan baik lokal
maupun mancanegara untuk menapak tilas sejarah kerjaan Aceh.
Gampong
Pande merupakan kampung tertua di Banda Aceh. Seorang ahli sejarah, Adian
Yahya, menceritakan bahwa cikal bakal berdirinya kerajaan Aceh berawal di
gampong Pande. Beliau pun meyakini bahwa Gampong Pande sudah ada sejak zaman Nabi
Sulaiman as. Penyebaran Islam di Aceh dimulai pada tahun 674 M. Sultan Aceh
pertama adalah Sultan Abdul Aziz Johan Syah yang memerintah di tahun 1205.
Pande
yang dalam bahasa Indonesia berarti ahli. Dinamakan Gampong Pande, karena di
daerah ini dulu banyak terdapat orang-orang yang ahli. Mereka ahli dalam
membuat pedang, koin, dirham dan lainnya. Artefak dan peninggalan-peninggalan
disana membuktikan bahwa mereka juga memiliki nilai seni yang tinggi. Selain
itu, Aceh terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar. Kegiatan perdagangan
tersebut dilakukan di Gampong Pande sehingga kawasan ini terkenal sebagai pusat
industri dan perdagangan yang strategis.
Hal
inilah yang membuat komunitas Kota Tanyoe mengadakan kegiatan Wet Wet Gampong
untuk memburu sejarah Kerajaan Aceh di kampung tersebut. Kegiatan yang
berlangsung pada tanggal 5 November 2016 tersebut melibatkan puluhan peserta
yang memiliki latar belakang berbeda. Kami diberi kesempatan untuk melihat
Gampong Pande lebih dekat, mulai dari sejarah, peninggalan serta keramahan
warga kampung tersebut.
Pemburuan
kami diawali dengan mengunjungi komplek makam Tuan Di Kandang. Makam Tuan Di
kandang berada di tengah-tengah puluhan nisan lainnya yang mengelilingi.
Nisan-nisan kuno dengan ciri khas ukiran kaligrafi yang bertuliskan lafaz
al-quran tersebut masih berdiri kokoh walau umurnya sudah ratusan tahun. Raja
yang memiliki nama asli Mahmud Abi Abdullah Syech Abdur Rauf Baghdadi ini
adalah seorang ulama yang berasal dari Baghdad. Beliau terkenal sebagai sosok
panutan yang jujur dan taat beribadah yang membawa ajaran agama islam ke Aceh.
Nama Tuan Di Kandang diabadikan oleh warga setempat menjadi nama sebuah Mesjid
yang letaknya tak jauh dari Makan Ulama tersebut. Komplek pemakaman ini sudah
dipugar sebagai cagar budaya oleh Dinas Budaya dan Pariwisata Aceh.
Keluar
dari komplek makam Tuan Di Kandang, kami melangkahkan kaki mengikuti instruksi
panitia. Panas terik tak terlalu mengganggu karena suasana masih teduh. Banyak
dahan-dahan pohon besar yang melindungi langkah kami. Adian Yahya juga
berkisah, bahwa kampung ini sebelum tsunami adalah kawasan yang tandus. Namun
musibah itu menjadi berkah tersendiri, karena setelah peristiwa yang cukup
memilukan tersebut, gampong pande menjelma menjadi kawasan yang rindang. Tanah
yang subur menjadikan pohon-pohon tetap kokoh berdiri.
Setelah
berjalan sekitar 10 meter, kami berhenti di sebuah semak-semak. Pak Adian
menunjukkan ke arah semak tersebut, sambil berkata,” Disana terdapat dua buah
sumur, sayang tak terurus.” Mata kami
kesulitan menemukan tempat yang dimaksud, karena kawasan tersebut ditumbuhi
rumput-rumput liar yang tingginya hampir satu meter. Tak berlama-lama disana,
kami memulai kembali perjalanan. Tanpa terasa kami sampai di suatu tempat.
Dihadapan kami terhampar tambak-tambak dengan tumbuhan bakau dan nipah yang
berjejer di pinggirnya.
Sekilas,
tambak ini terlihat biasa saja. Sampai Pak Adian meminta kami untuk jongkok dan
melihat apa yang di dalam tambak. Sedikit terkejut, karena ternyata banyak
nisan-nisan kuno tak beraturan di sana. Itu menandakan terdapat banyak makam
disana, makam yang digenangi air keruh tambak. Sekilas menatap wajah pak
Adian Yahya, mata beliau sedikit berkaca-kaca. Beliau menuturkan bahwa belum
ada yang peduli untuk merawat situs sejarah ini. Mungkin kampung yang menjadi
awal dari penyebaran agama Islam di Aceh ini tidak ada yang mengetahui sampai sebuah
peristiwa menggegerkan terjadi. Peristiwa ini berawal dari seorang pencari
tiram yang menemukan koin emas berukiran bahasa arab dikawasan kampung tersebut
di Bulan November tahun 2013 silam. Sontak, kabar penemuan tersebut membuat
banyak orang berbondong-bondong pergi ke lokasi karena jumlahnya yang sangat
banyak. Bukan hanya koin, warga juga menemukan dua buah pedang kuno disekitar
lokasi yang sama. Hal tersebut membuat Gampong Pande mulai menjadi perhatian.
Setelah
melewati tambak yang terdapat makam kuno tersebut, kami berbelok ke kiri untuk
menuju komplek makan putroe ijo (putri hijau). Komplek pemakaman ini tidak
terlau luas, namun kondisi lebih baik. Komplek
pemakaman Putroe Ijo ini sudah berpagar besi dengan susunan nisan yang teratur. Tak
jauh dari Komplek pemakaman Putroe Ijo, terdapat komplek pemakaman lain
yang mirip dengan komplek pemakaman
Putroe Ijo. Menurut Pak Adian, kedua komplek pemakaman ini sebenarnya
bersambung. Namun anehnya, diantara dua komplek tersebut terdapat rumah-rumah
warga.
Saat
peristiwa Tsunami yang melanda Aceh 2014 silam, nisan-nisan kuno peninggalan
Kerajaan Aceh di kampung ini terpencar dibawa arus Tsunami. Pak Adian mencoba
memetakan kembali nisan-nisan tersebut seperti semula berdasarkan arsip-arsip seperti
foto-foto yang masih tertinggal. Nisan yang terdapat di pemakaman kuno ini
memiliki corak yang serupa. Kini, komplek pemakaman kuno ini pun sudah dipugar
sebagai cagar budaya oleh Dinas Budaya dan Pariwisata Aceh.
Membahas
Sejarah Aceh tak kan pernah ada habisnya. Banyak sekali hal-hal menarik yang
dapat kita teladani dari pelaku-pelaku sejarah tersebut. Gampong Pande hanya
salah satu dari banyaknya saksi bisu sejarah aceh. Menjaga dan merawat situs
sejarah adalah tugas kita bersama.
0 komentar