Cuplikan Isyarat


Jum’at, 24 Desember 2004
            Wajah-wajah letih dan kecewa mengelilingi kak Tedi, pelatih basket di SMPN 1. Kak Tedi berusaha menghibur walau tak ada yang terhibur. Kami kecewa dengan kebodohan kami yang dikalahkan SMPN 9 berpululuh-puluh poin, dan kami hanya mampu mencetak 2 poin. Walaupun ini pertandingan perdana bagi kami, namun tidak bisa terima bahwa kami dipermalukan dengan kekalahan seperti ini. Terlebih aku, yang hanya diizinkan masuk ke lapangan sekitar 5 menit saja, setelah akhirnya digantikan dengan pemain lain. Ahh aku bodoh dan mungkin tak berbakat dalam olahraga ini.
            Menyadari rekan-rekan se-timnya diliputi kesedihan, sang kapten menyarankan hari minggu kami latihan kembali. Dan Guru olahraga pun berjanji sepulang latihan nanti akan mentraktir semua anak club basket. Akhirnya kami membuat kesepakatan sekedarnya untuk latihan di minggu pagi bertempat di lapangan Blang Padang.


Sabtu, 25 Desember 2004
            Mak, Adi nginap ya di studio”, pinta abang sambil memelas. Ia sangat khawatir dengan bass miliknya yang ia tinggalkan di studio. “Ngak usah lah, besok pagi aja ambilnya”, jawab ibuku yang kelihatan gelisah. Mendengar permintaannya ditolak oleh mamak, abangku hanya bisa terdiam. Walau aku tahu, di lubuk hatinya ia memendam kesal. Ia begitu menyayangi alat musik Bass tersebut. Teringat perjuangan abang saat ingin sekali memiliki alat musik mahal di tengah-tengah keterbatasan keluarga ini.
            Mamak melarang abang untuk menginap di studio tempatnya latihan bukan tanpa alasan. Jam telah menunjukkan pukul 8 malam. Letak studio yang berada di daerah Ulee lhee tersebut menjadi alasan mamak berat mengizinkan abang malam-malam pergi ke sana. Kalau sudah malam, daerah tersebut sangat sepi. Akhirnya dengan hati diliputi kegundahan dan kekesalan, abang mengurungkan niatnya untuk menginap.

Minggu, 26 Desember 2004
            Subuh terlewat begitu hening. Kami sekeluarga terlambat bangun. Latihan basket tak aku ikuti. Terdengar suara abang yang meminta izin untuk pergi mengambil bass. Ibu kembali melarang karena belum sarapan. Ketika ingin sarapan, ternyata beras tak ada. Beberapa lembar roti menjadi pilihan. Ibu mencoba memberikan sensasi di setiap lembaran roti tersebut dengan memanggangnya. Kami menanti roti buatan ibu sambil menonton film kartun keluarga. Persis ketika robot kucing meluncur, kami merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mengguncang tubuh dan barang-barang disekitar.
***
Guncangan dasyat, gulungan air, lumpur, mayat, tangis, lapar, sepi seolah menjadi santapan perbincangan seharian ini. Aku diliputi kebingungan melihat pemandangan seperti ini. Tiba-tiba saja rumahku ramai dikunjungi sanak saudara. Ada yang datang dengan baju penuh lumpur. Ada yang datang dengan luka di sekujur tubuh. Para tetangga lalu-lalang dengan wajah tegang. Beberapa ada yang berjalan sambil menangis histeris. Apa yang terjadi di luar sana?.
            Bukan hanya aku, Ayah dan Ibu pun kebingungan. Bukan karena guncangan hebat, bukan karena teriakan ‘air laut naik’. Namun karena orang yang berdatangan ke rumah semakin ramai, padahal kami tak memiliki beras dan lauk untuk dimasak. Akhir bulan, persediaan beras dan lauk menipis, begitupun uang di tangan. Bingung, orang-orang yang datang bahkan ada belum makan dari pagi. Bukan hanya mereka, kami pun belum sempat menyicipi makanan, karena memang tidak ada makanan di rumah. Beberapa lembar roti sudah kami berikan pada anak-anak.  
            Ayah dan abang akhirnya pergi mencari apapun yang bisa dibawa untuk dimakan. Namun keadaan di luar sana begitu mencekam. Kedai-kedai kelontong tertutup rapat. Isu penjarahan semakin menjadi-jadi. Hingga di ujung komplek pertokoan, ayah bertemu dengan seorang tetangga. Tetanggaku pun merelakan 2 karung beras untuk kami. Sungguh bantuan yang luar biasa.
            Setibanya di rumah, ayah memberikan hasil pencariannya itu ke ibu untuk dimasak. Tetiba salah seorang saudaraku menceritakan, bahwa ia baru saja pulang belanja. Semua belanjaan masih tersimpan di dalam kulkas, namun ia tak berani kembali ke rumahnya. Tanpa pikir panjang, Ayah dan abang bergegas menuju rumah yang di maksud untuk mengambil bahan-bahan makanan milik saudaraku.
            Hari ini, dengan segala keterbatasan kami bisa mencicipi makanan. Entahlah dengan saudara-saudara yang lain di luar sana. Entah bagaimana kabar mereka. Selamatkah atau telah meninggalkah. Pertanyaan yang terus menghantui. Malam semakin mencekam. Tanpa listrik, tanpa sinyal. Tidur berdesak-desakan. Namun semua harus disyukuri. Masih di sini, masih di dunia ini, menjadi saksi betapa mengerikannya hari ini. 

Kamis, 26 Desember 2013
            Kenangan itu tak kan pernah memudar. Saat kota ini dijuluki kota mati. Ketika logika tak mampu menerima yang terjadi. Keadaan seolah membuat orang-orang tak berani berharap. Akankah mampu bangkit. Akankah kembali memukau.
            9 tahun sudah, bencana yang menurut para ahli bernama ‘Tsunami’ itu berlalu. Puing-puing semangat yang tersisa telah mengkokohkan kembali Aceh. Berbagai bantuan yang datang, seolah mengembalikan senyum bahagia. Terlalu bahagia bahkan, hingga akhirnya terlupa bahwa 9 tahun lalu ada teriakan takbir serta teriakan-teriakan yang memuji Tuhan yang menggema dari mulut-mulut pasrah sambil menangis. Terlupa kalau ada perjanjian dalam hati yang akan bertobat jika kesempatan hidup itu diberikan-Nya.
            9 tahun sudah berlalu, dan kini Aceh kembali maju, bahkan sangat maju. Pembangunan yang terus dilancarkan, hotel, mall, tempat wisata, semua berdiri kokoh nan megah seolah ingin menjelma menjadi peredam kesedihan Aceh. Berhasil, semua kemajuan berhasil menyeka air mata. Beberapa bahkan mampu menyeka air mata hingga menutup mata hati. Membuat Aceh tak lagi berair mata, bahkan ketika ‘Pesona Neraka’ menjelma pada sayup-sayup suara takbir.  #‎9tahuntsunamiaceh‬

Share:

2 komentar