The real Angel



         
   “Cut, gimana ini?”, rengek Siska sambil memperlihatkan wajah ketakutan. Sejak kejadian yang menurutku begitu mengerikan dan langsung di depan mata itu, aku sendiri semacam kehilangan cara untuk berfikir. Tanganku masih gemetar. Aku hanya bisa terpaku di pinggir jalan. Tatapan orang-orang yang berlalu lalang pun seakan membuat kami benar-benar seorang penjahat yang tega. Ingin rasanya menangis, namun ku tahan. Mental Siska jauh lebih terguncang menurutku. 


            Hari ini, aku dan teman-teman seangkatan membuat acara semesteran. Kali ini kami bakar-bakar ayam dan makan siang di pinggir pantai. Ketika jam menunjukkan 5 kurang 10 menit, kami sepakat untuk meninggalkan pantai dan kembali ke rumah masing-masing. Kami pun pulang beriringan motor. 


            Di tengah perjalanan, tepatnya di seberang SPBU, salah seorang temanku, Liza, izin untuk mengisi bensin. Setelah ia menyebrang, aku dan yang lain melanjutkan perjalanan. Semua tampak biasa. Kami mengendarai motor masing-masing dengan kecepatan standar. 


Sampai di suatu tempat, aku melihat ada sosok berbulu coklat kehitaman melintas di jalan raya. Tak jelas sosok apa itu. Namun aku cukup mengenal bentuk dan caranya berjalannya. Ia itu seekor kucing. Aku mengerem motor dengan sigap, padahal posisi kucing itu masih sekitar 3 meter dariku. Aku refleks. Namun semenit kemudian, aku melihat kucing tersebut sudah tergeletak di jalan tak bergerak lagi. Temanku Siska tak mampu mengendalikan motornya karena terkejut dengan sosok kehitaman yang tiba-tiba muncul. Tabrakan pun tak bisa dielakkan. 


Aku melihat kejadian itu dengan sangat jelas. Shock bukan main. Aku ketakutan dan tak mau melihat ke arah kucing tersebut sama sekali. Temanku Siska tak kalah shock, ia merasa sangat bersalah. Ia pun menghentikan motornya. Aku sempat berteriak padanya untuk tidak perlu memperdulikan. Tapi Siska tetap kekeh ingin melihat keadaan kucing tersebut. 


“Ini gimana hukumnya dalam agama Islam?”, tanyanya dengan masih kelihatan shock. Aku yang masih tak mau menoleh ke arah kucing tersebut berusaha mengingat-ingat apa pernah belajar mengenai masalah ini. “Kalau kata orang tua, kalau tabrak kucing harus kita yang nguburin”, sahut Zia, temanku yang dibonceng Siska. “Itu mitos atau apaan? Aduh aku gemetar ini sumpah”, Keluh Siska kembali. 


Aku paling tidak tegaan kalau harus melihat pemandangan kucing yang sakit, apalagi sampai berdarah-darah. Ngak kuat. Aku sudah membayangkan bagaimana kondisi kucing yang masih kaku tak bergerak di pinggir jalan tersebut. Jangankan melihat, menoleh saja aku tak mau. Karena tak menemukan jawaban yang mencerahkan, Siska langsung mengambil kain lap dari dalam tasnya dan bergerak menuju kucing kehitaman itu. “Mau diapain?”, Tanya ku setengah berteriak. “Kita ambil aja, aku juga ngak tau ini”, jawab Siska pasrah.


Akhirnya mau tidak mau aku menoleh ke arah sosok berbulu tersebut. “Cut, masih bernapas”, teriak Siska. Kalau masih bernapas itu berarti si kucing sedang sakratul maut. Ya Allah, aku sudah sering melihat kucing-kucing peliharaanku ketika sakratul maut, begitu pilu dan menyakitkan. Masih dari kejauhan aku melihat Siska sudah menggendong kucing tersebut dengan dibalut kain lap miliknya. Aku berbisik dalam hati, “ternyata aku selama ini berteman dengan manusia berhati malaikat”. 


Melihat si kucing hanya diam tak bergerak, hatiku luluh juga untuk mengetahui keadaan si kucing. Siska mengendongnya sambil mengusap-usap tubuh si kucing. Aku yang dijuluki ratu kucing saja tak segitunya memperlakukan kucing. Tapi Siska melakukannya di tengah ajakan teman-temannya untuk tak memperdulikan keadaan kucing tersebut. 


“Ayo kita bawa saja, mungkin di jalan nanti ketemu dokter hewan”, pinta Siska. Liza yang tadinya ketinggalan karena mengisi bensin akhirnya sampai di tempat kami berdiri. Melihat kami berhenti, ia pun menghentikan motornya. Kami menceritakan apa yang terjadi. Kami setuju untuk membawa si kucing dan mencarinya dokter hewan. Seingatku beberapa meter dari tempat kami berdiri terdapat klinik hewan, mungkin itu bisa membantu kami memberikan pertolongan pertama untuk si kucing malang itu. 


Ayi yang tadi dibonceng Liza menawarkan diri untuk membawa motor Siska, Zia pindah ke motor Liza. Kali ini Siska dibonceng sambil mengendong kucing itu. Kami pun meninggalkan tempat tersebut sambil berharap klinik hewan yang dituju beroperasi walau di hari libur. Aku berusaha agar lebih cepat sampai untuk memastikan klinik itu buka. 


Di tengah perjalanan aku melihat dari spion kalau motor Liza dan Siska berhenti. Aku menoleh ke belakang dan melihat sosok kehitaman itu sedang berlari menuju sebuah toko. Karena jalan yang kami lalui satu arah, aku tak bisa kembali ke tempat mereka berhenti. Segera kuhubungi Zia dari ponselku. Zia mengabarkan kalau kucing yang tadi tak bergerak tiba-tiba saja berontak. Dan ketika mereka berhenti kucing tersebut lari. Mereka pun kesulitan untuk menangkap kembali. Hampir tak masuk akal, kucing yang tadi ditabrak lalu kaku tiba-tiba saja bisa berlari walau dengan kaki yang pincang. 


Akhirnya kami memutuskan pulang, setelah pemilik toko mendengarkan penjelasan kami. Awalnya Siska tak tega meninggalkan si kucing begitu saja. Menurutnya si kucing wajib di tolong dokter hewan. Tapi karena memang kucing tak mau lagi ditangkap, akhirnya kami menyerah. Di perjalanan pulang, aku sibuk memikirkan tentang Siska. Tentang cekatannya dia untuk menyelamatkan kucing tersebut. Tentang rasa ibanya yang mengalahkan rasa takutnya. Sungguh itu naluri malaikat, dan aku sebagai pecinta kucing seperti ditelanjangi terlibat dalam moment sore tadi.  


*kisah nyata dengan nama disamarkan

           

Share:

0 komentar